Rabu, 08 Juni 2022

SINAR MENTARI#1

 Sebuah Cerita Pendek

Karya : Afriska Kusnia

            Suara kokok ayam terdengar nyaring pagi itu, asap mengepul keluar dari dapur berdinding bambu. Matahari masih enggan menunjukkan sinarnya, dedaunan bergerak lembut seirama dengan hembus angin yang membawanya. Penduduk bumi memulai aktivitas paginya, menyiapkan makanan untuk sarapan, menyetrika baju seragam, menyapu lantai rumah dan halaman, bergegas pergi ke pasar, serta masih ada yang nyaman tiduran dengan selimut melingkari badan.

         Udara pagi itu cukup dingin, beberapa perempuan berjalan kaki memakai pakaian tebal untuk melindungi badan agar tidak kedinginan. Berjalan dengan langkah cepat menuju pasar tradisional dekat balai desa. Seorang lelaki bernama Pak Anton sedang menjajakan berbagai buah-buahan, ada pisang yang baru saja dipotong dari pohonnya, buah semangka berwarna merah merona terbelah menjadi dua, buah salak yang tertumpuk rapi di sebelah kanan timbangan, dan buah-buah lainnya berbaris rapi diatas meja beralas kain putih. Beberapa perempuan berjalan mendekati penjual sayuran, ada yang berjalan menuju penjual ikan, mencoba untuk menengok penjual buah-buahan, lainnya sedang sibuk melakukan tawar-menawar untuk mencapai kesepakatan harga pasar.

           Matahari telah menunjukkan sinarnya meski masih malu-malu, kondisi pasar tradisional semakin ramai. Banyak para pengepul menurunkan barang dagangannya ke para penjual, suara riuh pembeli semakin rumit untuk didengarkan satu persatu. Lelaki penjual buah-buahan itu rupanya masih sibuk dengan para pembelinya dari tadi pagi hingga sekarang menjelang siang. Dari kejauhan terlihat sedang menghitung berapa keuntungan yang ia dapatkan hari ini, menghitung jumlah uang yang ada di tangan dan kantong wadah uang untuk dicocokkan perhitungannya di mesin kalkulator yang sudah mulai usang.

"Alhamdulillah. Hari ini lumayan laris daganganku" katanya sembari meneguk segelas air putih.

Belum juga habis setengah air dalam gelas itu, datang seorang perempuan dengan berpakaian rapi dan stylist menanyakan berapa harga pisang yang tersandar di dekat kaki meja.

"Berapa harga pisang ini, Pak?" Tanya perempuan itu sambil menunjuk ke arah pisang tersandar didekat meja.

"45 ribu, Bu. Tinggal 1 aja, biasanya saya jual 50 ribu." Sahut Pak Anton.

"Wah, nggak bisa kurang nih, Pak? Kurangin dikit lah, pisang ini mau saya pakai untuk acara selamatan almarhumah ibu saya", tutur perempuan itu.

           Mendengar kalimat almarhumah ibu membuat hati lelaki penjual buah itu trenyuh, mengingatkan kembali kepada ibunya yang satu bulan lalu meninggal. Usianya memang sudah cukup tua, namun rupanya lelaki penjual buah itu belum siap kehilangan sosok ibu. Sudah beberapa minggu tidak nampak batang hidungnya di pasar itu, para teman penjual pasar menanyakan dimana keberadaannya, ternyata ia sedang berduka dan masih berkabung selama 3 minggu lebih. Lelaki berperangai lembut penjual buah itu sangat menyayangi ibunya, bagaimana tidak ia hanya memiliki seorang ibu. Sejak usia 8 bulan, ia sudah menjadi anak yatim. Ayahnya meninggal karena sakit jantung yang dideritanya. Itupun ia tahu hanya sebatas cerita dari ibu, saudara dan tetangga yang dekat dengan rumahnya.

"Jadi gimana, Pak? Boleh kurang nggak ini? 40rb saja ya?" Sahut pembeli perempuan menyadarkan lamunannya.

"Oh, ya. Boleh bu. Silahkan ambil saja, tidak usah bayar. Ibu saya juga barusan meninggal satu bulan lalu. Saya turut berduka cita ya." Tuturnya iba.

"Loh ini beneran, Pak? Saya jadi nggak enak", jawab perempuan itu sembari tetap menyodorkan selembaran uang lima puluh ribu ke arah lelaki penjual buah.

"Tidak, Mbak. Saya ikhlas, sudah ambil saja. Hari ini dagangan saya lumayan laris, padahal ini hari pertama setelah saya hampir satu bulan berduka atas meninggalnya ibu saya." Tuturnya sembari membungkus pisang dengan kresek merah besar dan menyerahkan ke perempuan itu.

***

            Hari ini cuaca sedikit mendung, diiringi gerak angin menyambar pelan pepohonan randu dan jati yang tertanam berjajar di kanan kiri rumah mungil berpetak berukuran 6x6 meter. Sepasang suami istri yang baru menikah satu tahun yang lalu sedang berbincang asyik di ruang tamu, menikmati santapan makan pagi dengan sepotong ubi rebus dan air putih yang tertuang di dua cangkir berbahan aluminum.

"Bulan ini jadwalnya lahiran insyaAllah, Mas. Semoga lancar ya prosesnya. Adik takut dan khawatir." Ucap perempuan manis bermata sayu kepada suaminya.

Aamiin, Dik. Semoga lancar ya. Kita doa sama-sama. " jawab laki-laki berkumis tipis tersebut sembari mengusap lembut kepala istrinya.

Nampak mesra dan bahagia keluarga kecil pasangan muda tersebut, suaminya bekerja sebagai seorang kuli bangunan lepas ikut dengan salah satu kontraktor yang sedesa dengannya. Jika sedang tidak ada pekerjaan di bangunan, ia biasa pergi ke pasar untuk berdagang buah membantu usaha ibunya.

Ia dibesarkan oleh ibu seorang diri sejak dilahirkan ke dunia berusia 8 bulan. Ibunya tinggal berbeda rumah dengannya, namun masih satu wilayah desa. Istrinya membantu bekerja dengan menjahit baju di rumah. Bekerja sebagai kuli bangunan lepas tidak bisa dijagakan untuk cukup memenuhi kebutuhan setiap hari, sistem pekerjaan borongan ini memakan waktu 3-4 bulan dan gaji diberikan setelah proyek selesai. Selain sebagai kuli bangunan, ia menyambung hidup dengan memelihara kambing dan sapi, ketika pulang dari proyek lanjut langsung mencari rumput di ladang belakang rumahnya.

Kurang dari satu bulan, hari yang ditakutkan oleh istrinya tiba. Hari ini seorang bayi mungil perempuan telah dilahirkan ke dunia dengan kondisi sehat wal afiat. Suara tangis bayi menggelar ke seluruh ruangan tersebut, Anton sebagai laki-laki telah resmi menjadi seorang ayah. Ia mengumandangkan adzan bayi mungil itu di telinga sebelah kanan, sedang iqomah di telinga sebelah kiri. Bayi perempuan itu diberi nama Sinar Mentari. Lahir tepat di satu tahun usia pernikahan ayah ibunya. Sinar Mentari, berharap ia kelak menjadi seorang anak yang bisa memberikan perubahan bak sinar mentari di kehidupan orangtuanya.

Suara tangisan bayi di kala haus minta minum air susu serta kondisi kurang nyaman karena popoknya basah menambah suasana rumah semakin ramai. Kini sang istri tidak lagi menjahit di rumah, lebih banyak untuk merawat putri kecilnya. Tak jarang setiap malam diatas pukul 10.00 bayi perempuan itu selalu menangis, membangunkan kedua orngtua yang beranjak untuk istirahat seusai melakukan aktivitas seharian. Menangis dan terus menangis. Tangisan bayi perempuan itu selalu terdengar di telinga tetangga samping rumahnya.

"Oek.. Oek.. Oek.." Begitu keras bayi itu menangis.

"Tidur ya, Nak. Ini minum susunya. Cup, cup, cup." Ucap Anton pelan sembari mengelus lembut dahi putri kesayangannya.

Bersambung.....

Nantikan di part ke#2 yaa, stay tune!

SURYA MALAM HARI #2

  Diharapkan untuk membaca part 1 terlebih dahulu, ya. . . . Tepat ketika Dea berangkat pulang dari Stasiun Bandung pukul 15.45 WIB kemarin,...