Sebuah Cerita Pendek
Karya : Afriska Kusnia
Suara
kokok ayam terdengar nyaring pagi itu, asap mengepul keluar dari dapur
berdinding bambu. Matahari masih enggan menunjukkan sinarnya, dedaunan bergerak
lembut seirama dengan hembus angin yang membawanya. Penduduk bumi memulai
aktivitas paginya, menyiapkan makanan untuk sarapan, menyetrika baju seragam,
menyapu lantai rumah dan halaman, bergegas pergi ke pasar, serta masih ada yang
nyaman tiduran dengan selimut melingkari badan.
Udara
pagi itu cukup dingin, beberapa perempuan berjalan kaki memakai pakaian tebal
untuk melindungi badan agar tidak kedinginan. Berjalan dengan langkah cepat
menuju pasar tradisional dekat balai desa. Seorang lelaki bernama Pak Anton sedang
menjajakan berbagai buah-buahan, ada pisang yang baru saja dipotong dari
pohonnya, buah semangka berwarna merah merona terbelah menjadi dua, buah salak
yang tertumpuk rapi di sebelah kanan timbangan, dan buah-buah lainnya berbaris
rapi diatas meja beralas kain putih. Beberapa perempuan berjalan mendekati
penjual sayuran, ada yang berjalan menuju penjual ikan, mencoba untuk menengok
penjual buah-buahan, lainnya sedang sibuk melakukan tawar-menawar untuk
mencapai kesepakatan harga pasar.
Matahari
telah menunjukkan sinarnya meski masih malu-malu, kondisi pasar tradisional
semakin ramai. Banyak para pengepul menurunkan barang dagangannya ke para
penjual, suara riuh pembeli semakin rumit untuk didengarkan satu persatu.
Lelaki penjual buah-buahan itu rupanya masih sibuk dengan para pembelinya dari
tadi pagi hingga sekarang menjelang siang. Dari kejauhan terlihat sedang
menghitung berapa keuntungan yang ia dapatkan hari ini, menghitung jumlah uang
yang ada di tangan dan kantong wadah uang untuk dicocokkan perhitungannya di
mesin kalkulator yang sudah mulai usang.
"Alhamdulillah. Hari ini lumayan laris
daganganku" katanya sembari meneguk segelas air putih.
Belum juga habis setengah air dalam gelas itu,
datang seorang perempuan dengan berpakaian rapi dan stylist menanyakan berapa harga pisang yang tersandar di dekat kaki
meja.
"Berapa harga pisang ini, Pak?" Tanya
perempuan itu sambil menunjuk ke arah pisang tersandar didekat meja.
"45 ribu, Bu. Tinggal 1 aja, biasanya saya jual
50 ribu." Sahut Pak Anton.
"Wah, nggak bisa kurang nih, Pak? Kurangin
dikit lah, pisang ini mau saya pakai untuk acara selamatan almarhumah ibu
saya", tutur perempuan itu.
Mendengar
kalimat almarhumah ibu membuat hati lelaki penjual buah itu trenyuh, mengingatkan kembali kepada
ibunya yang satu bulan lalu meninggal. Usianya memang sudah cukup tua, namun
rupanya lelaki penjual buah itu belum siap kehilangan sosok ibu. Sudah beberapa
minggu tidak nampak batang hidungnya di pasar itu, para teman penjual pasar
menanyakan dimana keberadaannya, ternyata ia sedang berduka dan masih berkabung
selama 3 minggu lebih. Lelaki berperangai lembut penjual buah itu sangat
menyayangi ibunya, bagaimana tidak ia hanya memiliki seorang ibu. Sejak usia 8
bulan, ia sudah menjadi anak yatim. Ayahnya meninggal karena sakit jantung yang
dideritanya. Itupun ia tahu hanya sebatas cerita dari ibu, saudara dan tetangga
yang dekat dengan rumahnya.
"Jadi gimana, Pak? Boleh kurang nggak ini? 40rb
saja ya?" Sahut pembeli perempuan menyadarkan lamunannya.
"Oh, ya. Boleh bu. Silahkan ambil saja, tidak
usah bayar. Ibu saya juga barusan meninggal satu bulan lalu. Saya turut berduka
cita ya." Tuturnya iba.
"Loh ini beneran, Pak? Saya jadi nggak
enak", jawab perempuan itu sembari tetap menyodorkan selembaran uang lima
puluh ribu ke arah lelaki penjual buah.
"Tidak, Mbak. Saya ikhlas, sudah ambil saja.
Hari ini dagangan saya lumayan laris, padahal ini hari pertama setelah saya
hampir satu bulan berduka atas meninggalnya ibu saya." Tuturnya sembari
membungkus pisang dengan kresek merah besar dan menyerahkan ke perempuan itu.
***
Hari
ini cuaca sedikit mendung, diiringi gerak angin menyambar pelan pepohonan randu
dan jati yang tertanam berjajar di kanan kiri rumah mungil berpetak berukuran
6x6 meter. Sepasang suami istri yang baru menikah satu tahun yang lalu sedang
berbincang asyik di ruang tamu, menikmati santapan makan pagi dengan sepotong
ubi rebus dan air putih yang tertuang di dua cangkir berbahan aluminum.
"Bulan ini jadwalnya lahiran insyaAllah, Mas.
Semoga lancar ya prosesnya. Adik takut dan khawatir." Ucap perempuan manis
bermata sayu kepada suaminya.
Aamiin, Dik. Semoga lancar ya. Kita doa sama-sama.
" jawab laki-laki berkumis tipis tersebut sembari mengusap lembut kepala
istrinya.
Nampak mesra dan bahagia keluarga kecil pasangan
muda tersebut, suaminya bekerja sebagai seorang kuli bangunan lepas ikut dengan
salah satu kontraktor yang sedesa dengannya. Jika sedang tidak ada pekerjaan di
bangunan, ia biasa pergi ke pasar untuk berdagang buah membantu usaha ibunya.
Ia dibesarkan oleh ibu seorang diri sejak dilahirkan
ke dunia berusia 8 bulan. Ibunya tinggal berbeda rumah dengannya, namun masih
satu wilayah desa. Istrinya membantu bekerja dengan menjahit baju di rumah.
Bekerja sebagai kuli bangunan lepas tidak bisa dijagakan untuk cukup memenuhi
kebutuhan setiap hari, sistem pekerjaan borongan ini memakan waktu 3-4 bulan
dan gaji diberikan setelah proyek selesai. Selain sebagai kuli bangunan, ia
menyambung hidup dengan memelihara kambing dan sapi, ketika pulang dari proyek
lanjut langsung mencari rumput di ladang belakang rumahnya.
Kurang dari satu bulan, hari yang ditakutkan oleh
istrinya tiba. Hari ini seorang bayi mungil perempuan telah dilahirkan ke dunia
dengan kondisi sehat wal afiat. Suara tangis bayi menggelar ke seluruh ruangan
tersebut, Anton sebagai laki-laki telah resmi menjadi seorang ayah. Ia
mengumandangkan adzan bayi mungil itu di telinga sebelah kanan, sedang iqomah
di telinga sebelah kiri. Bayi perempuan itu diberi nama Sinar Mentari. Lahir
tepat di satu tahun usia pernikahan ayah ibunya. Sinar Mentari, berharap ia
kelak menjadi seorang anak yang bisa memberikan perubahan bak sinar mentari di
kehidupan orangtuanya.
Suara tangisan bayi di kala haus minta minum air
susu serta kondisi kurang nyaman karena popoknya basah menambah suasana rumah
semakin ramai. Kini sang istri tidak lagi menjahit di rumah, lebih banyak untuk
merawat putri kecilnya. Tak jarang setiap malam diatas pukul 10.00 bayi
perempuan itu selalu menangis, membangunkan kedua orngtua yang beranjak untuk
istirahat seusai melakukan aktivitas seharian. Menangis dan terus menangis.
Tangisan bayi perempuan itu selalu terdengar di telinga tetangga samping
rumahnya.
"Oek.. Oek.. Oek.." Begitu keras bayi itu
menangis.
"Tidur ya, Nak. Ini minum susunya. Cup, cup,
cup." Ucap Anton pelan sembari mengelus lembut dahi putri kesayangannya.
Bersambung.....
Nantikan di part ke#2 yaa, stay tune!