Diharapkan untuk membaca part 1 terlebih dahulu, ya.
. . .
Tepat ketika Dea berangkat pulang dari
Stasiun Bandung pukul 15.45 WIB kemarin, disaat itulah ibunya menghempuskan
nafas untuk terakhir kalinya. Tidak ada yang sanggup memberi kabar duka ini
kepada Dea, sebab ia sendirian dalam perjalanan menggunakan kereta malam menuju
Kabupaten Tulungagung, kampung halamannya. Beberapa kerabat mengirimkan pesan
untuk selalu menguatkan hati. Aneh kalau dipikir. Tapi, ia tetap berkeyakinan
positif bahwa ibunya sembuh ketika ia pulang.
"Pulangku adalah obat untuk
ibuku"
Kalimat itu yang menjadi sebuah sugesti
dalam dirinya sepanjang perjalanan hingga ia pulang ke rumah menghadapi
kenyataan bahwa ibunya telah berpulang.
Sosok ibu sebagai perantara ia lahir ke
dunia kini telah tiada. Dua puluh satu tahun sudah kebersamaan dengannya di
dunia. Banyak kenangan dan nasihat yang diberikan oleh sang ibunda. Nasihat
untuk tetap tegar dan kuat menjalani kehidupan. Tumbuh menjadi sosok perempuan
yang anggun tapi tetap tangguh, tegas tapi tetap cerdas, berambisi tapi tetap
rendah hati.
"Ibumu sudah tiada, Nak."
Jawab Pak Malik pelan sembari memeluk erat tubuh anak perempuannya.
Tubuh perempuan itu lemas. Suara tangis
menggelegar ke penjuru rumah. Tangisannya mengisyaratkan bahwa dirinya belum
siap kehilangan.
"Ibu, bentar lagi aku wisuda
Sarjana. Tapi, engkau telah lebih dulu pulang ke pangkuan-Nya. Allah lebih
sayang denganmu, Bu. Semoga engkau tenang di Surga-Nya.", ucap Dea lirih
ketika memegang batu nisan di pemakaman ibunya.
"Pulangku adalah obat untuk
ibuku"
Kalimat itu teringat kembali olehnya.
Pulangnya memang menjadi obat bagi ibunya. Kini ibunya sudah tidak merasakan
sakit lagi.
“Selamat jalan, Ibu. Surga adalah tempat
peristirahatan bagimu.” Ucap Dea sembari beranjak dari pemakaman ibunya.
Perihal kehilangan merupakan salah satu
bagian dari sisi kehidupan. Tidak ada yang salah dari kehilangan, yang salah
adalah ketika kita terlalu tenggelam larut dalam kesedihan. Kehilangan itu
wajar, sebab setiap yang datang akan pergi. Setiap yang bernyawa pasti
merasakan mati. Merasa hilang karena kita pernah merasa memiliki atau sangat
merasa memiliki. Padahal sebenarnya kita tidak sedang memiliki apapun.
Semua yang ada pada diri kita, yang ada di sekitar kita adalah titipan dari-Nya. Apa yang ada di langit dan yang ada di bumi adalah milik-Nya dan akan kembali kepada-Nya. Harta, kekayaan, keindahan fisik, kepandaian, keluarga, saudara dan apapun itu semuanya adalah amanah dari Tuhan. Merawat, menggunakan dengan bijak tanpa merusak adalah tugas kita sebagai sebaik-baik insan.
Begitu juga dengan kehilangan sosok ibu, darinya
bisa diambil pelajaran bahwa kita tidak bisa memprediksi seberapa lama waktu
kita bersama dengan orang yang kita sayangi. Selagi masih ada waktu, temuilah
dan peluk eratlah ibu. Apabila sedang jauh, segeralah ambil teleponmu dan ajak
ibu bercerita banyak hal. Percayalah, kita akan sangat rindu nantinya ketika
sosok ibu sudah tak ada lagi di dunia. Aroma masakan kesukaannya,
nasihat-nasihat baiknya, hingga ocehan setiap hari sebagai bahasa peduli kini
tak terdengar lagi. Berat memang membayangkan hidup tanpa sosok ibu di masa
lajang. Tapi, hidup harus tetap dijalankan ada atau tidaknya sosok ibu di
dunia.
Sosok ibu mungkin sudah tidak nampak di
dunia, tapi ia akan selalu bersinar dalam hati dan ingatan anak-anaknya. Ibu
bagaikan sang surya di malam hari. Sinarnya akan tetap terang meski langit sedang
gelap. Ibu mungkin sudah tidak hidup, tapi sinarnya tak akan pernah redup.
Sinarnya akan tetap menyapa di malam-malam berikutnya, meski ibu tidak bisa
ditemui kembali di dunia.
Belajar menyikapi kehilangan dengan hati
yang lapang. Belajar untuk bisa mengikhlas apa yang seharusnya kita lepas.
Tetaplah bernafas meski terkadang sulit, tetaplah memilih untuk bangkit meski
berkali-kali jatuh sakit, serta tetaplah berusaha berjuang untuk diri sendiri
dan orang sekitar. Seberat apapun ujian yang didapatkan, semoga Tuhan
senantiasa memberi kekuatan. Percayalah, Tuhan tidak akan menguji hamba-Nya
melebihi batas kemampuan seorang hamba. Lalu, kenapa harus kita? Jawabnya
adalah karena kita istimewa. Kita adalah insan pilihan Tuhan yang diberikan
kesempatan untuk merasakan ujian berupa kehilangan ini. Bersyukurlah, karena tidak
semua orang bisa seperti kita dan mampu melewati serta bertahan sampai sejauh
ini. Selamat dan semangat untuk menghadapi ritme kehidupan kedepannya. Selalu
berusaha memberi afirmasi positif untuk diri kita dan orang-orang di sekitar
kita. Tetaplah tersenyum serta belajar lebih baik dari diri kita yang kemarin.
Sekali lagi, selamat dan semangat. J
Pesan dari Dea yang penuh arti. Tertulis rapi pada secarik kertas di atas meja belajarnya.
Cerita Pendek ini telah diterbitkan dalam sebuah buku antologi berjudul -Rangkul, Afirmasi Kehilangan- Pada tahun 2022 oleh Penerbit SIP Publishing.
Hasil kolaborasi antara @afirmasidiri.id X @lentera.project
Tidak ada komentar:
Posting Komentar