Sebuah Cerita Pendek yang ditulis oleh Afriska Kusnia, terinspirasi dari cerita perjalanan hidupnya mengenai kehilangan dan berupaya bangkit setelahnya.
“Surya Malam Hari”
Karya : Afriska Kusnia
"Kring.. Kring... Kring..."
suara dering berbunyi dari telepon genggamnya.
"Sebentar lagi aku sampai pada
tempat tujuan, ku angkat nanti saja" gumam ia dalam hati.
Angkutan
kota yang ditumpangi kala itu sesak dengan para penumpang. Mendapat tempat
duduk di bangku pojok sebelah kanan membuatnya terhimpit sehingga kesulitan
bergerak untuk mengambil telepon genggam yang ada di ransel belakang. Ia
abaikan suara dering telepon berbunyi. Jalanan sangat ramai sore itu, beberapa
kendaraan membunyikan klakson bergiliran, memerebutkan jalan dengan
masing-masing kepentingan. Kendaran bermotor berjejer di jalan raya seperti
sedang perayaan kemenangan dari sebuah liga. Asap kendaraan mengepul menambah
suasana sesak jalan kota.
Ia
turun di terminal dekat asrama tempat tinggalnya. Terminal Ledeng namanya,
tempat dimana para mahasiswa dan orang-orang mengantri bus, angkutan kota
menuju ke wilayah Bandung Raya. Selain itu, terminal ini merupakan salah satu
terminal yang paling dekat dengan kampusnya, ia biasa naik dan turun dari
angkutan kota di terminal ini. Terminal yang nyaris tidak pernah sepi oleh
penumpang, baik di siang maupun malam hari. Tapak kakinya berjalan menyusuri
tanjakan ringan naik ke asramanya. Hembusan nafasnya terengah-engah saat
menaiki tanjakan yang lebih tinggi. Detak jantungnya berdetak lebih kencang
ketika ia mulai mempercepatkan langkah kakinya.
Telepon genggamnya berdering kembali.
"Assalamualaikum, Buk. Maaf, tadi
Dea masih di perjalanan. Angkutan kota sore ini lumayan penuh dan berdesakan, jadi
belum bisa jawab telepon dari ibuk" ucapnya mengawali percakapan di
telepon genggam.
"Wa'alaikumsalam, Nak. Ini bapak.
Kamu bisa segera pulang ke rumah? Ibumu sedang kritis di Rumah Sakit" ucap
Pak Malik pelan disertai dengan isak tangis dari kejauhan.
Perasaan
hati Dea saat itu sangat kacau, khawatir dengan kondisi kesehatan ibunya. Ia
ingin segera pulang ke rumah saat itu juga. Tiket kereta, tiket bus, dan tiket
pesawat semuanya telah habis. Dengan berat hati dia harus pulang besok hari. Malam
itu, ia tidak nyenyak tidur. Kepikiran terus dengan kondisi ibunya. Berusaha
untuk memantau kondisi ibunya melalui bapaknya.
"Semoga besok kamu bisa segera
pulang ya, Nak."
Selalu itu kalimat yang diucapkan
bapaknya untuk menenangkan putrinya.
Malam semakin larut, perasaan hati Dea
semakin gelisah. Ia berusaha menenangkan hatinya dengan berdzikir mengingat
Allah, berdoa untuk kesembuhan ibunya, hingga pada akhirnya terlelap.
***
Seusai melakukan sholat Subuh berjama’ah
di Masjid Al-Furqon, ia berdoa untuk kesembuhan ibunya. Pulangku adalah obat
buat ibu, kalimat itu yang menjadi sugesti dalam dirinya. Ia berkeyakinan bahwa
kepulangannya ke kampung halaman akan membawa kesembuhan untuk ibunya. Pagi
itu, ia persiapkan semuanya. Sengaja membeli oleh-oleh untuk ibu dan
keluarganya di kampung halaman. Berbelanja aneka makanan dan jajanan, tak lupa
juga pakaian.
“Mumpung lagi di Bandung, harga pakaian
lumayan ramah di kantong. Beliin baju buat keluarga di kampong sekalian lah..” ucapnya sembari memilah-milah
baju gamis untuk ibunya.
Pulang belanja ia putuskan untuk mampir
dulu ke alun-alun kota, sekalian jama’ah sholat dhuhur di Masjid Agung. Nyaman
rasanya ketika ia menempelkan dahi ke lantai masjid ketika sedang melakukan
gerakan sujud. Tak lupa memanjatkan doa untuk kesembuhannya ibunya. Tetes air
mata mengalir pelan di pipi kanannya. Mata sayunya memandang tajam kea rah
langit-langit masjid. Matanya terpejam perlahan, kemudia kedua telapak
tangannya mengusap muka sembari menghapus tetes air mata.
Ia harus segera kembali ke asrama,
persiapan untuk kepulangannya.
Sesampainya di asrama, ia berjalan
menuju kantor keseketariatan untuk meminta perizinan pulang. Sebenarnya, pagi
tadi ia sudah datang kemari. Tapi, sayang sekali pengurus asrama sedang tidak
ada di ruangan.
Aneh.
Perizinan pulang kali ini terasa sangat
mudah. Pengurus tanpa basa basi langsung memberikan persetujuan untuk pulang.
Padahal, biasanya harus pidato paling cepat 30 menit untuk menyampaikan alasan
kenapa harus pulang. Berbeda dengan Dea. Ia hanya mengatakan bahwa pulangnya
merupakan amanah dari bapaknya untuk segera pulang sebab ibunya sedang kritis
di Rumah Sakit.
Entahlah.
Ia tidak terlalu risau dengan hal
tersebut. Mungkin saja bapaknya sudah menghubungi pengurus asrama terlebih
dahulu terkait perizinan pulang ini, sehingga ia tidak perlu capek-capek
menjelaskan ulang alasan kenapa ia harus segera pulang.
Motor berwarna hitam itu melaju dengan
cepat menuju Stasiun Bandung. dea menyodorkan 2 lembar uang Rp. 10.000-, kepada
pengemudi ojek tersebut. Tas ransel biru sudah siap di punggungnya lengkap
dengan botol minum berwarna putih di kantong sebelah kanan. Tangan kirinya
menjinjing tas merah dengan motif beruang coklat, sedangkan tangan kanannya
memegang telepon genggam. Berusaha membuka aplikasi KAI Access untuk melihat posisi tempat duduk dan gerbong kereta
yang akan ia tumpangi. Petugas kereta dengan sigap membantu menujukkan posisi
kereta yang akan ditumpanginya. Sore itu, ada 4 lokomotif kereta yang sedang
berbaris rapi di Stasiun Bandung. Cukup ramai.
Dea duduk di bangku dekat dengan
jendela, tepat di gerbong 3. Ia segera menata barang-barang bawaannya di rak
atas. Menyiapkan charger dan headset serta dompet di tas kecil yang
ia bawa, meletakkan makanan dan minuman di meja, dan memutar lagu kesukaan
untuk menemani sepanjang perjalanan. Cukup lama perjalanan kali ini, kurang
lebih sekitar 14 jam perjalanan. Sesuai jadwal, ia akan tiba di stasiun tujuan
di esok hari. Ia menikmati perjalanan dengan melihat pemandangan sekitar.
Bentangan padi di sawah yang menghijau, deretan rumah penduduk di sepanjang rel
kereta, para penumpang yang naik turun menambah serunya perjalanan.
Matahari mulai meredupkan sinarnya, bumi
muali gelap pertanda malam akan segera datang. Mulutnya selalu berdoa untuk
kesembuhan ibunya. Pulangku adalah obat buat ibu. Kalimat itu yang selalu diucapkan
sepanjang perjalanan Berkeyakinan bahwa ibunya akan sembuh ketika ia pulang.
Jarum pendek jam dinding menujukkan angka 9. Kereta berjalan semakin kencang
mengikuti jalurnya, angin malam mengembus hingga lapisan kulit terdalam.
***
Sang surya mulai menampakkan sinarnya,
semburat jingga berpadu dengan langit biru kehitaman. Udara pagi masih terasa
dingin. Perlahan ia mulai membuka mata sembari membenarkan posisi duduknya.
Angka di jam tangannya menunjukkan pukul 05.25 WIB, pertanda 10 menit lagi
keretanya akan berhenti di stasiun tujuan.
Stasiun Tulungagung, terbaca dari
kejauhan diiringi dengan laju kereta yang perlahan berjalan pelan. Para penumpang
mempersiapkan barang bawaan untuk turun secara bergantian, ia berjalan menuju
pintu keluar. Di balik gerbang ada sosok laki-laki paruh baya sedang duduk di
atas sepeda motornya, itulah Pak Malik ayah dari Dea. Senyuman hangat dari
seorang bapak menambah keyakinan Dea bahwa kondisi ibunya sedang baik-baik
saja. Sepanjang perjalanan ke rumah terasa dingin, bukan sebab udara yang masih
pagi tetapi sebab bapak dan anak tersebut sama sekali tidak saling berbincang.
Dea beranggapan bapaknya mungkin capek karena kurang tidur merawat ibunya. Ia
biarkan saja, dan selalu berkeyakinan positif terkait kondisi kesehatan ibunya.
"Pulangku adalah obat untuk
ibuku".
Selalu kalimat itu yang diucapkan
sepanjang perjalanan.
Roda sepeda motor melaju pelan ketika
memasuki gang arah ke rumah Dea. Tidak juga ada obrolan atau sekedar pertanyaan
ringan terkait sudah makan atau belum keluar dari mulut Pak Malik.
"Ibu sudah dibawa ke rumah,
Pak?" Tanya Dea ke bapaknya.
Namun, tak jua ada jawaban darinya.
Matahari telah memancarkan sinarnya
secara sempurna. Dea dan bapaknya tiba di depan rumah. Tumpukan kursi plastik
berwarna hijau memenuhi teras depan. Kursi ruang tamunya berada di luar.
Beberapa kerabat berkumpul di dapur belakang.
"Rumahku sedang dibersihkan
mungkin", pikir Dea.
Ia masuk ke ruang tamu, gelaran tikar
memenuhi hampir seluruh lantainya. Ruang keluarga penuh dengan bahan makanan
yang akan diolah. Berjalan menuju kamar ibunya, tak juga ia temui. Berlanjut ke
kamarnya di samping ruang tamu depan, kosong. Hanya ada boneka beruang usang di
pojokan dipan. Perasaanya mulai khawatir, ia mengulangi untuk melihat seisi
ruangan yang ada di rumah. Di dapur juga tak ia temukan sosok ibunya. Adik
perempuan ibunya diam mematung di depan pintu dapur, air matanya menetes pelan,
matanya masih terlihat sembab seperti bekas tangisan. Bik Fatim, begitu sapaan
Dea ke adik perempuan ibunya.
"Ibu kemana Bik?" Tanya Dea
serius menatap tajam wajah Bibinya.
Bibinya hanya menggelengkan kepala.
Ia lari ke ruang tamu untuk menemui
bapaknya. Pertanyaan yang sama terulangi.
"Ibu, kemana Pak?" Tanya Dea
lirih.
Air matanya menetes pelan membasahi
pipi, pandangan tajam ke muka bapaknya seolah-olah mengisyaratkan makna.
***
(BERSAMBUNG. . .)
Tunggu di part 2 ya!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar