Selasa, 18 Juni 2024

SURYA MALAM HARI #1


Sebuah Cerita Pendek yang ditulis oleh Afriska Kusnia, terinspirasi dari cerita perjalanan hidupnya mengenai kehilangan dan berupaya bangkit setelahnya.


“Surya Malam Hari”

Karya : Afriska Kusnia


"Kring.. Kring... Kring..." suara dering berbunyi dari telepon genggamnya.

"Sebentar lagi aku sampai pada tempat tujuan, ku angkat nanti saja" gumam ia dalam hati.

            Angkutan kota yang ditumpangi kala itu sesak dengan para penumpang. Mendapat tempat duduk di bangku pojok sebelah kanan membuatnya terhimpit sehingga kesulitan bergerak untuk mengambil telepon genggam yang ada di ransel belakang. Ia abaikan suara dering telepon berbunyi. Jalanan sangat ramai sore itu, beberapa kendaraan membunyikan klakson bergiliran, memerebutkan jalan dengan masing-masing kepentingan. Kendaran bermotor berjejer di jalan raya seperti sedang perayaan kemenangan dari sebuah liga. Asap kendaraan mengepul menambah suasana sesak jalan kota.

            Ia turun di terminal dekat asrama tempat tinggalnya. Terminal Ledeng namanya, tempat dimana para mahasiswa dan orang-orang mengantri bus, angkutan kota menuju ke wilayah Bandung Raya. Selain itu, terminal ini merupakan salah satu terminal yang paling dekat dengan kampusnya, ia biasa naik dan turun dari angkutan kota di terminal ini. Terminal yang nyaris tidak pernah sepi oleh penumpang, baik di siang maupun malam hari. Tapak kakinya berjalan menyusuri tanjakan ringan naik ke asramanya. Hembusan nafasnya terengah-engah saat menaiki tanjakan yang lebih tinggi. Detak jantungnya berdetak lebih kencang ketika ia mulai mempercepatkan langkah kakinya.

Telepon genggamnya berdering kembali.

"Assalamualaikum, Buk. Maaf, tadi Dea masih di perjalanan. Angkutan kota sore ini lumayan penuh dan berdesakan, jadi belum bisa jawab telepon dari ibuk" ucapnya mengawali percakapan di telepon genggam.

"Wa'alaikumsalam, Nak. Ini bapak. Kamu bisa segera pulang ke rumah? Ibumu sedang kritis di Rumah Sakit" ucap Pak Malik pelan disertai dengan isak tangis dari kejauhan.

            Perasaan hati Dea saat itu sangat kacau, khawatir dengan kondisi kesehatan ibunya. Ia ingin segera pulang ke rumah saat itu juga. Tiket kereta, tiket bus, dan tiket pesawat semuanya telah habis. Dengan berat hati dia harus pulang besok hari. Malam itu, ia tidak nyenyak tidur. Kepikiran terus dengan kondisi ibunya. Berusaha untuk memantau kondisi ibunya melalui bapaknya.

"Semoga besok kamu bisa segera pulang ya, Nak."

Selalu itu kalimat yang diucapkan bapaknya untuk menenangkan putrinya.

Malam semakin larut, perasaan hati Dea semakin gelisah. Ia berusaha menenangkan hatinya dengan berdzikir mengingat Allah, berdoa untuk kesembuhan ibunya, hingga pada akhirnya terlelap.

***

Seusai melakukan sholat Subuh berjama’ah di Masjid Al-Furqon, ia berdoa untuk kesembuhan ibunya. Pulangku adalah obat buat ibu, kalimat itu yang menjadi sugesti dalam dirinya. Ia berkeyakinan bahwa kepulangannya ke kampung halaman akan membawa kesembuhan untuk ibunya. Pagi itu, ia persiapkan semuanya. Sengaja membeli oleh-oleh untuk ibu dan keluarganya di kampung halaman. Berbelanja aneka makanan dan jajanan, tak lupa juga pakaian.

“Mumpung lagi di Bandung, harga pakaian lumayan ramah di kantong. Beliin baju buat keluarga di kampong sekalian lah..” ucapnya sembari memilah-milah baju gamis untuk ibunya.

Pulang belanja ia putuskan untuk mampir dulu ke alun-alun kota, sekalian jama’ah sholat dhuhur di Masjid Agung. Nyaman rasanya ketika ia menempelkan dahi ke lantai masjid ketika sedang melakukan gerakan sujud. Tak lupa memanjatkan doa untuk kesembuhannya ibunya. Tetes air mata mengalir pelan di pipi kanannya. Mata sayunya memandang tajam kea rah langit-langit masjid. Matanya terpejam perlahan, kemudia kedua telapak tangannya mengusap muka sembari menghapus tetes air mata.

Ia harus segera kembali ke asrama, persiapan untuk kepulangannya.

Sesampainya di asrama, ia berjalan menuju kantor keseketariatan untuk meminta perizinan pulang. Sebenarnya, pagi tadi ia sudah datang kemari. Tapi, sayang sekali pengurus asrama sedang tidak ada di ruangan.

Aneh.

Perizinan pulang kali ini terasa sangat mudah. Pengurus tanpa basa basi langsung memberikan persetujuan untuk pulang. Padahal, biasanya harus pidato paling cepat 30 menit untuk menyampaikan alasan kenapa harus pulang. Berbeda dengan Dea. Ia hanya mengatakan bahwa pulangnya merupakan amanah dari bapaknya untuk segera pulang sebab ibunya sedang kritis di Rumah Sakit.

Entahlah.

Ia tidak terlalu risau dengan hal tersebut. Mungkin saja bapaknya sudah menghubungi pengurus asrama terlebih dahulu terkait perizinan pulang ini, sehingga ia tidak perlu capek-capek menjelaskan ulang alasan kenapa ia harus segera pulang.

Motor berwarna hitam itu melaju dengan cepat menuju Stasiun Bandung. dea menyodorkan 2 lembar uang Rp. 10.000-, kepada pengemudi ojek tersebut. Tas ransel biru sudah siap di punggungnya lengkap dengan botol minum berwarna putih di kantong sebelah kanan. Tangan kirinya menjinjing tas merah dengan motif beruang coklat, sedangkan tangan kanannya memegang telepon genggam. Berusaha membuka aplikasi KAI Access untuk melihat posisi tempat duduk dan gerbong kereta yang akan ia tumpangi. Petugas kereta dengan sigap membantu menujukkan posisi kereta yang akan ditumpanginya. Sore itu, ada 4 lokomotif kereta yang sedang berbaris rapi di Stasiun Bandung. Cukup ramai.

Dea duduk di bangku dekat dengan jendela, tepat di gerbong 3. Ia segera menata barang-barang bawaannya di rak atas. Menyiapkan charger dan headset serta dompet di tas kecil yang ia bawa, meletakkan makanan dan minuman di meja, dan memutar lagu kesukaan untuk menemani sepanjang perjalanan. Cukup lama perjalanan kali ini, kurang lebih sekitar 14 jam perjalanan. Sesuai jadwal, ia akan tiba di stasiun tujuan di esok hari. Ia menikmati perjalanan dengan melihat pemandangan sekitar. Bentangan padi di sawah yang menghijau, deretan rumah penduduk di sepanjang rel kereta, para penumpang yang naik turun menambah serunya perjalanan.

Matahari mulai meredupkan sinarnya, bumi muali gelap pertanda malam akan segera datang. Mulutnya selalu berdoa untuk kesembuhan ibunya. Pulangku adalah obat buat ibu. Kalimat itu yang selalu diucapkan sepanjang perjalanan Berkeyakinan bahwa ibunya akan sembuh ketika ia pulang. Jarum pendek jam dinding menujukkan angka 9. Kereta berjalan semakin kencang mengikuti jalurnya, angin malam mengembus hingga lapisan kulit terdalam.

 

***

Sang surya mulai menampakkan sinarnya, semburat jingga berpadu dengan langit biru kehitaman. Udara pagi masih terasa dingin. Perlahan ia mulai membuka mata sembari membenarkan posisi duduknya. Angka di jam tangannya menunjukkan pukul 05.25 WIB, pertanda 10 menit lagi keretanya akan berhenti di stasiun tujuan.

Stasiun Tulungagung, terbaca dari kejauhan diiringi dengan laju kereta yang perlahan berjalan pelan. Para penumpang mempersiapkan barang bawaan untuk turun secara bergantian, ia berjalan menuju pintu keluar. Di balik gerbang ada sosok laki-laki paruh baya sedang duduk di atas sepeda motornya, itulah Pak Malik ayah dari Dea. Senyuman hangat dari seorang bapak menambah keyakinan Dea bahwa kondisi ibunya sedang baik-baik saja. Sepanjang perjalanan ke rumah terasa dingin, bukan sebab udara yang masih pagi tetapi sebab bapak dan anak tersebut sama sekali tidak saling berbincang. Dea beranggapan bapaknya mungkin capek karena kurang tidur merawat ibunya. Ia biarkan saja, dan selalu berkeyakinan positif terkait kondisi kesehatan ibunya.

"Pulangku adalah obat untuk ibuku".

Selalu kalimat itu yang diucapkan sepanjang perjalanan.

Roda sepeda motor melaju pelan ketika memasuki gang arah ke rumah Dea. Tidak juga ada obrolan atau sekedar pertanyaan ringan terkait sudah makan atau belum keluar dari mulut Pak Malik.

"Ibu sudah dibawa ke rumah, Pak?" Tanya Dea ke bapaknya.

Namun, tak jua ada jawaban darinya.

Matahari telah memancarkan sinarnya secara sempurna. Dea dan bapaknya tiba di depan rumah. Tumpukan kursi plastik berwarna hijau memenuhi teras depan. Kursi ruang tamunya berada di luar. Beberapa kerabat berkumpul di dapur belakang. 

"Rumahku sedang dibersihkan mungkin", pikir Dea.

Ia masuk ke ruang tamu, gelaran tikar memenuhi hampir seluruh lantainya. Ruang keluarga penuh dengan bahan makanan yang akan diolah. Berjalan menuju kamar ibunya, tak juga ia temui. Berlanjut ke kamarnya di samping ruang tamu depan, kosong. Hanya ada boneka beruang usang di pojokan dipan. Perasaanya mulai khawatir, ia mengulangi untuk melihat seisi ruangan yang ada di rumah. Di dapur juga tak ia temukan sosok ibunya. Adik perempuan ibunya diam mematung di depan pintu dapur, air matanya menetes pelan, matanya masih terlihat sembab seperti bekas tangisan. Bik Fatim, begitu sapaan Dea ke adik perempuan ibunya.

"Ibu kemana Bik?" Tanya Dea serius menatap tajam wajah Bibinya.

Bibinya hanya menggelengkan kepala.

Ia lari ke ruang tamu untuk menemui bapaknya. Pertanyaan yang sama terulangi.

"Ibu, kemana Pak?" Tanya Dea lirih.

Air matanya menetes pelan membasahi pipi, pandangan tajam ke muka bapaknya seolah-olah mengisyaratkan makna.

***

(BERSAMBUNG. . .)


Tunggu di part 2 ya!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

SURYA MALAM HARI #2

  Diharapkan untuk membaca part 1 terlebih dahulu, ya. . . . Tepat ketika Dea berangkat pulang dari Stasiun Bandung pukul 15.45 WIB kemarin,...