Wahh.. Sudah lama ya, kedaiaksara_afku tidak memposting tulisan, hehe... Siapa nih yang nungguin kelanjutan cerita dari Sinar Mentari?. Yuk, gas baca hihi.
(Disarankan untuk membaca Sinar Mentari part 1 terlebih dahulu ya.)
Suara tangisan bayi terdengar semakin keras, Anton
kewalahan untuk menenangkan putrinya. Ia berusaha untuk menggendong putri
kecilnya, sesekali menimang-nimangnya diiringi dengan bacaan sholawat nabi.
Tiga puluh menit sudah Anton melakukannya, anak digendongannya perlahan diam
dan memejamkan mata pertanda tidur. Ia menurunkan putri kecilnya dari gendongan
dan meletakkan kembali ke kasur bayi di samping istrinya yang sedang tertidur
pulas. Rupanya dari tadi siang si bayi mungil tersebut rewel minta digendong
terus tidak mau diturunkan dari gendongan sang ibu.
Anton
sengaja tidak membangunkan istrinya, dia kasihan dengan istrinya karena dari
pagi sampai magrib tadi sudah menjaga dan merawat putrinya dengan maksimal.
Ketika malam tiba, menjadi jadwalnya Anton untuk gantian menjaga dan merawat
putri mungilnya. Sebagai seorang laki-laki, Anton tau betul bagaimana cara
memuliakan perempuan terutama istrinya. Menurutnya, peran menjaga, merawat dan
mendidik anak bukan hanya menjadi tugas perempuan akan tetapi menjadi tugas
laki-laki juga. Anak merupakan amanah dari Allah yang dititipkan kepada kedua
orangtuanya, jadi sudah selayaknya kedua orangtuanyalah yang harus
bertanggungjawab terkait dengan anak yang diamanahkan tersebut. Tidak hanya membebankan
kepada salah satu pihak.
Si
bayi tertidur nyenyak disamping ibundanya. Bulir-bulir sisa air mata masih menempel di pipi yang
putih kemerahan. Selimut bulu tebal berwarna biru dengan hiasan kartun doraemon
menutup hampir semua badannya, kecuali wajah. Pelukan dari ayah dan ibundanya
menambah kehangatan di dini hari. Jam dinding menunjukkan pukul 02.00, tiga
orang manusia penuh cinta saling berbagi kasih sayang sedang menikmati waktu
istirahat dengan tidur di satu ranjang kayu berwarna cokelat.
“Tek.. Tek.. Tek”, hanya terdengar suara putaran
jarum jam dinding malam itu. Sementara kondisi bumi mulai lenggang dengan
aktivitas, malam terasa mencekam dengan udara dingin yang masuk ke ruas-ruas
tulang.
***
Suara
kokok ayam bersahutan pertanda waktu fajar telah tiba. Asap mengepul berasal
dari dapur, irama percikan air yang jatuh ke tanah membasahi bumi, suara adzan
berkumandang saling bersahutan di antara beberapa mushola. Air mengalir deras
dari kran, beberapa manusia berwudhu sebelum melakukan shalat subuh berjamaah.
Dua orang perempuan berjalan cepat menuju mushola mengenakan mukena berwarna putih
dengan sajadah terselempang di bahu kanannya.
Cat
dinding kamar berwarna putih mulai memudar, banyak coretan-coretan hasil buah
tangan Sinar ketika waktu kecil dulu. Kini, bayi mungil itu telah tumbuh
menjadi seorang gadis. Ia sedang duduk di bangku Madrasah Aliyah kelas 3. Ia
tergolong siswi yang rajin dan berprestasi, selalu berhasil menjadi juara
pertama di kelasnya, beberapa kali menang dalam lomba debat Bahasa Arab di
tingkat nasional. Keterampilan bahasa Arabnya semakin terasah tatkala ia rutin
mengikuti ekstrakulikuler bahasa di madrasahnya.
"Uhuk.. Uhuk.." Terdengar suara batuk dari
kamar belakang.
Pak
Anton terbaring lemah di tempat tidurnya. Sudah hampir satu tahun belakangan
ini sering keluar masuk rumah sakit guna pengobatan. Dokter telah memvonis Pak
Anton menderita penyakit jantung koroner, terhitung sudah empat kali dalam satu
tahun ini ia menjalankan rawat inap di rumah sakit. Biaya yang dikeluarkan
cukup besar sehingga terpaksa mengorbankan dana tabungan pendidikan Sinar yang
akan digunakan untuk melanjutkan ke jenjang perguruan tinggi. Pak Anton dan
istrinya menginginkan anak semata wayangnya bisa melanjutkan pendidikan hingga
jenjang pendidikan tinggi, maka dari itu ia bersama istrinya mempersiapkan dana
pendidikan untuk anaknya. Tidak ingin anaknya memiliki nasib seperti mereka
berdua yang hanya mampu menempuh pendidikan hingga tamat Sekolah Dasar saja,
tidak bisa melanjutkan sekolah karena keterbatasan biaya dan kondisi ekonomi
keluarga yang kurang. Namun, manusia hanya bisa merencanakan dan mempersiapkan,
dana tabungan pendidikan Sinar habis digunakan untuk membayar biaya perawatan
dan pengobatan ayahnya. Kondisi kesehatan Pak Anton semakin hari semakin
memburuk. Nafsu makannya berkurang, berat badannya menurun secara drastis.
Pagi itu, Pak Anton hendak buang air kecil ke kamar
mandi, ia berusaha berjalan sendiri menggunakan bantuan tongkat. Selain punya
penyakit jantung koroner, Pak Anton
mempunyai riwayat gejala stroke,
sehingga harus hati-hati ketika berjalan saat kondisi sedang sakit. Buk Darmi,
begitu sapaan dari istri Pak Anton sedang mempersiapkan makanan untuk sarapan
pagi. Di kamar depan, Sinar bersiap-siap untuk pergi ke sekolah, ia meneliti kembali
buku-buku yang dimasukkan ke dalam ransel disesuaikan dengan jadwal pelajaran
hari itu.
"Praak..." suara tongkat jatuh tergeletak
di lantai depan kamar mandi.
"Buk, apa yng jatuh? "Teriak Sinar dari
dalam kamar.
"Ayahmu, Nak." Jawab Buk Darmi iba.
Sinar berlari menuju kamar mandi, ia dapati tubuh
ayahnya sudah tergrletak di lantai depan kamar mandi dengan tongkat yang
terletak agak jauh. Ibu dan Sinar berusaha menolong Pak Anton, membantunya
untuk bisa berdiri lagi. Sinar memberikan tongkat kepada ayahnya dan menuntun
berjalan untuk kembali lagi ke kamar. Tubuh Pak Anton semakin lemah, wajahnya
pucat pasi, tubuhnya semkin kurus. Ibu datang membawa minuman hangat,
menyuapkan sedikit demi sedikit ke mulut Pak Anton. Sinar bergegas untuk pergi
ke sekolah, akan tetapi sang ayah menahannya.
"Sini dulu, Nak. Duduk samping ayah. Ayah kangen dibacakan sholawat nabi."
Tutur Pak Anton pelan dan terbata bata.
Sinar menuruti perintah ayahnya, ia duduk di kursi
samping tempat tidur ayahnya. Membacakan sholawat nabi dan sesekali memijat
lembut kaki ayahnya. Lima belas menit sudah Sinar membacakan sholawat nabi
untuk ayahnya. Ia berniat untuk pamit pergi ke sekolah karena jam sudah
menunjukkan pukul 06.45. Tiba-tiba ayahnya bilang "Suaramu merdu, Nak.
Ayah tidur dulu, ya. Kamu yang rajin sekolahnya, wujudkan mimpimu bisa mengenyam
pendidikan tinggi." Ucap pelan Pak Anton.
"Iya, Yah. Sinar pasti bisa mewujudkan
cita-cita itu. Sinar bisa kuliah sampai S2 atau S3 sekalian." Jawab Sinar
dengan penuh pengharapan sembari mencium lembut tangan sang ayah.
Lalu, ia menolek ke arah ayahnya. Wajah pucat itu
tampak tersenyum, matanya tertutup rapat pertanda sudah tidur. Sinar sedikit
lega karena ayahnya bisa istirahat sehingga ia bisa berangkat sekolah hari ini.
Tapi, ada yang aneh sepertinya. Tidak ada hembusan nafas yang keluar dari lubang
hidung ayahnya. Apakah benar begitu? Ia masih belum yakin. Berjalan menuju
kamar belakang dan memerhatikan wajah ayahnya, mencoba meletakkan jari telunjuk
di depan hidung ayahnya, berusaha mencari denyut nadi yang ada di lengan
ayahnya. Tapi nihil. "Ayah sudah tidak ada, ayah sudah meninggal
dunia," batinnya dalam hati.
"Ibuuuuk.. Ayah udah nggak ada buk. Ayah udah
meninggal Buk.." teriak ia sambil memegang badan ayahnya.
Rasanya
masih belum percaya dengan kenyataan ini. Ayahnya izin tidur, ternyata tidur
untuk selamanya. Sedangkan ia masih duduk di kelas 3 Madrasah Aliyah, 6 bulan
lagi ia akan lulus. Ayahnya sudah lebih dulu pulang ke pangkuan-Nya sebelum
melihat ia wisuda. Pilu sekali suasana hati Sinar saat itu, terbayang kembali
semua moment-moment indah bersama ayahnya. Ayah yang selalu mengantarkannya
pergi ke sekolah saat ia kecil, ayah yang selalu bilang "sekolahnya yang
rajin ya, pokoknya harus bisa sekolah sampai perguruan tinggi, jangan seperti
ayah dan ibu yang hanya lulusan Sekolah Dasar." Ayah sebagai cinta pertama
anak perempuannya kini sudah tiada, tak ada lagi dongeng lucu yang penuh makna
yang biasa ia bawakan menjelang tidur malam, tak ada lagi alunan irama sholawat
nabi yang merdu dinyanyikan olehnya.
Ibu berusaha menguatkan Sinar, padahal dirinya
sendiri sedang butuh dikuatkan. Uang tabungan telah habis untuk biaya
pengobatan hingga tabungan dana pendidikan rela digunakan. Terlintas banyak
sekali pertanyaan di dalam pikiran ibunya. Darimana ia akan membiayai dan
menghidupi Sinar? Apakah masih bisa ia mewujudkan cita-cita untuk memberikan
pendidikan hingga jenjang perguruan tinggi ke anaknya? "Ya Allah, kuatkan
dan tabahkanlah hamba," doanya dalam hati.
Prosesi pemakaman suaminya berjalan lancar, banyak
saudara dan tetangga yang datang ke rumah turut berduka cita.
***
Kebaya merah lengkap dengan kain batik sebagai jarik
dikenakan oleh Buk Darmi. Ia berdandan seorang diri khusus untuk menghadiri
acara purnawiyata dan wisuda anak perempuan satu-satunya. Sorak penonton ramai
memenuhi gedung Anthena, mereka memberikan tepuk tangan yang meriah ketika nama
Sinar Mentari disebut sebagai juara 1 peraih Ujian Nasional Tingkat Kabupaten
Indragiri Hilir. Ia berhasil membawa nama baik sekolah dengan pencapaian
prestasinya. Kepala Madrasah memberikan hadiah berupa uang pendidikan gratis
selama 4 tahun untuk kuliah di salah satu kampus negeri di Pulau Jawa. Madrasah
memfasilitasi sebagai bentuk apresiasi terhadap Sinar yang sudah banyak
mengharumkan nama madrasah. Haru bercampur bahagia perasaan hatinya saat itu,
ia peluk erat tubuh ibunya.
"Buk.. Aku akan melanjutkan pendidikan ke Jawa.
Aku janji akan mewujudkan cita-cita almarhum ayah dan ibu." Ucapnya penuh
semangat.
Tak terasa air mata menetes di pipi Buk Darmi, anak
perempuan semata wayangnya kini sudah menjadi seorang gadis yang sebentar lagi
akan meninggalkannya sementara waktu untuk melanjutkan pendidikan di Pulau Jawa.
Ia sangat bersyukur sekali dengan adanya hadiah dari kepala madrasah untuk
anaknya. Pertanyaan-pertanyaan yang selalu melintasi pikirannya menjelang tidur
malam terkait kelanjutan biaya pendidikan anaknya terjawab sudah. Ia sangat
bersyukur, akhirnya doa-doa yang dipanjatkan seusai sholat dan di sepertiga
malam diijabah sama Allah. Allah Maha Kaya, Allah Maha Pengasih lagi Maha
Penyayang. Allah adalah Maha dari segala Maha. Buk Darmi memeluk erat tubuh
putrinya.
Sinar Mentari, begitulah namanya. Membawa sinar
pengharapan bagi keluarganya. Kini, ia akan menjadi seorang mahasiswi.
Satu-satunya siswi di madrasahnya yang mempunyai kesempatan bisa kuliah gratis
di salah satu kampus negeri Pulau Jawa. Universitas Pendidikan Indonesia,
tempat dimana ia menuntut ilmu untuk 4 tahun ke depan. Ia mengambil jurusan
Pendidikan Sosiologi, berharap seusai lulus nanti dapat kembali ke daerahnya
untuk mengabdikan ilmunya kepada masyarakat. Sejak duduk di kelas X, ia
menyukai pelajaran Sosiologi atau hal-hal yang berkaitan dengan masyarakat.
Beberapa kali pernah menjuarai Olimpiade Sosiologi tingkat Nasional, menjadikan
ia semakin mantap untuk memilih jurusan Pendidikan Sosiologi di perguruan
tinggi.
Biar bagaimanapun kondisinya, pendidikan anak menjadi suatu hal yang diprioritaskan. Pendidikan itu sepanjang hayat, sejak kita berada dalam kandungan sampai kita di liang lahat. Kondisi keluarga yang tidak utuh dan minimnya ekonomi tidak menyurutkan langkah kita tuk terus memberikan pendidikan terbaik kepada anak-anak. Teruslah berusaha, ikhtiar semampunya dan berdoa minta kepada Allah yang Maha Rahman dan Rahim.
Di era modern seperti sekarang, pendidikan tidak memandang
jenis kelamin. Laki-laki atau perempuan mempunyai kesempatan yang sama untuk
menempuh pendidikan hingga jenjang perguruan tinggi, sebisa mngkin setinggi-tingginya.
Perempuan-perempuan bisa memberikan kontribusinya dalam perubahan sosial dengan
bekal pendidikan. Semakin banyak kita mendidik perempuan, maka semakin banyak
pula kita mendidik calon generasi mendatang. Teruslah bersinar bak mentari yang
memberikan manfaat ke semua orang, ke masyarakat dan lingkungan sekitar.
Begitulah pesan ibunda yang tertulis pada selembar surat, terbaca disaat Sinar
sedang duduk menikmati perjalanan dengan pesawat yang melesat menembus awan.
Cerita Pendek ini telah diterbitkan dalam Buku Antologi berjudul "Mengapa Perempuan Harus Berpendidikan?" dalam rangka peringatan 2 tahun berdirinya komunitas @rumahmasyarakat.id oleh penerbit Ruang Karya, 2022.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar