(sebelumnya disarankan untuk membaca episode 1 dahulu ya...)
Lembaran kertas
dan amplop cokelat itu sengaja ia sebar di beberapa perusahaan luar kota, di
Surabaya, Yogyakarta, Jakarta, Malang, Bandung hingga wilayah pulau Sumatera.
Ia tidak begitu tertarik dengan dunia pendidikan meskipun bergelar S. Pd dan M.
Pd. Ia menginginkan bekerja di perusahaan saja, gelar pendidikannya tak lain
hanya untuk menuruti kemauan orangtuanya. Sebulan, dua bulan hingga enam bulan lamanya
hanya menjadi pengangguran di rumah. Surat lamaran yang beberapa bulan lalu
dikirimkan tak berbuah hasil seperti yang diharapkan, sebagian membalas dengan
ucapan terima kasih karena sudah berpartisipasi dalam open recruitmen kerja, sebagian lainnya mengundang untuk melakukan
wawancara, namun rezeki belum berpihak padanya.
Pagi itu ia duduk
merenung di kursi teras depan sambil memainkan telepon genggam. Memikirkan
ulang mengenai nasihat bapaknya enam bulan lalu ketika ia baru saja pulang dari
perantauan. Mengapa ia tidak segera mendapatkan pekerjaan? Mengapa ia hingga
detik ini masih juga jadi pengangguran? Apakah ini semua terjadi karena ia
tidak patuh dengan arahan orangtuanya?
Tiba tiba suara
dering dari telepon genggam menghentikan lamunannya, ada pesan masuk dari nomor
tidak dikenal berisi panggilan wawancara di lembaga pendidikan yang terletak
tak jauh dari rumahnya. Ia sengaja mengirimkan lamaran ke sekolah atas perintah
dari bapaknya. Tanpa pikir panjang, bergegaslah ia lari menuju kamar untuk
berdandan dan menyiapkan berkas yang harus dibawa saat wawancara. Dua puluh
menit bergerak, sampailah ia di lembaga pendidikan tersebut. Ada 10 orang yang
sedang antri menunggu giliran dipanggil untuk masuk ke dalam ruangan wawancara
termasuk dirinya. Wawancara berjalan lancar hari itu, ia kembali pulang ke
rumah untuk menunggu pengumuman hari besoknya.
Sore itu giliran
Pak Darso yang duduk di teras depan sambil menikmati sepiring pisang goreng
hangat.
"Nak.. Coba
kemari sebentar, ada yang ingin bapak bicarakan padamu", ucap Pak Darso ke
arah ruang tamu.
"Iya
Pak" ucapnya sembari berjalan menuju teras depan.
"Bagaimana
hasil dari surat lamaran yang sudah dikirimkan kemarin?," tanya Pak Darso.
"Alhamdulillah,
kemarin baru wawancara lagi di sekolah. Tinggal nunggu pengumuman keluar besok.
Doakan ya, Pak" ucapnya.
"Selalu bapak
doakan. Semoga anak bapak diterima dan bisa berkarier di lembaga pendidikan.
Bapak ingin sekali anak perempuan bapak satu-satunya ini menjadi seorang guru,
sama dengan almarhumah ibumu dulu." Tutur Pak Darso dengan lembut.
"Kring...
Kring... Kring," suara telepon berdering di dalam kamar.
"Ada suara
telepon, Nak. Coba diangkat dulu" ucap Pak Darso ke anaknya.
"Iya, Pak"
jawabnya sembari berlari menuju kamar.
Ternyata dering
telepon dari nomor yang tidak dikenal, ada rasa ragu dan takut untuk
mengangkatnya, namun mencoba untuk memberanikan diri.
"Assalamualaikum.
Apa benar ini dengan Mbak Ananda Ningrum?", tanya orang di seberang sana.
"Iya benar
dengan saya sendiri", jawabnya.
"Selamat ya
Mbak. Berdasarkan hasil keputusan Kepala Sekolah, Mbak Nanda diterima untuk
bergabung di lembaga pendidikan kami. Besok pukul 08.00 diharapkan datang ke
kantor terkait koordinasi jadwal" jelas seseorang dalam telepon tersebut.
"Alhamdulillah.
Terima kasih untuk informasinya" balas ia singkat.
Setelah telepon
dimatikan, ia berjalan menuju teras depan menemui Pak Darso untuk memberi kabar
terkait diterimanya ia di sekolah rekomendasi bapaknya. Hidangan pisang goreng
di atas piring hanya tinggal sepotong, sengaja disisakan untuk dimakan oleh
putrinya. Pak Darso sedang menikmati suasana jalanan yang cukup lenggang.
"Pak.. Aku
ketrima di sekolahan itu. Barusan ditelepon sama pihak Tata Usaha, besok pukul
08.00 pembagian jadwal," ucapnya pelan.
"Lho.. Alhamdulillah, kamu ketrima Nak. Bapak ikut seneng dengernya.
Semoga berkah dan lancar proses ke depannya. Akhirnya, Ya Allah... Anak
perempuanku menjadi guru melanjutkan pengabdian ibunya" ucap Pak Darso
bahagia sambil memeluk tubuh anak perempuannya.
***
Tak terasa dua
tahun sudah ia mengabdikan ilmunya di lembaga pendidikan ini, hari-hari
dilewati dengan senang hati, lambat laun mulai menemukan rasa nyaman atas apa
yang dilakukan. Ternyata begitu antusias mengajarkan ilmu kepada
siswa-siswinya, tak hanya mengajar di dalam kelas, namun juga belajar di luar
kelas dengan tambahan game-game
edukatif yang menyenangkan. Baginya belajar bisa dimanapun, tidak harus di
kelas, di bawah pohon, di lapangan, di taman, hingga di perpustakaan. Baginya
belajar bisa kapanpun, ia memfasilitasi siswa-siswinya untuk bertanya ataupun
berdiskusi kapan saja, tidak harus di lingkungan sekolah. Siswa-siswi diberikan
kesempatan untuk datang ke rumah apabila ingin berdiskusi, bila tidak
memungkinkan bisa melalui telepon. Tindakan, perilaku, aktivitas dan
kebiasannya menjadikan ia seorang guru yang disenangi oleh siswa-siswinya. Guru
Millenial, adalah sebutannya di sekolah. Tidak hanya menjadi guru yang
disenangi oleh siswa-siswinya, beberapa kali ia mewakili sekolah sebagai
delegasi guru inspiratif di tingkat Provinsi. Kini ia menemukan apa yang selama
ini dicarinya. Ya, pendidik atau guru adalah passion yang tepat untuknya.
Angin pagi itu
berhembus kencang menerpa daun-daun hingga jatuh berguguran, tertuju
pandangannya pada sebuah benda berbentuk persegi panjang di atas meja. Ia
pandangi seseorang dalam frame foto
itu, waktu berjalan begitu cepat, ternyata sudah 7 tahun yang lalu ibunya
meninggal. Seragam batik di dalam foto merupakan seragam yang biasa dikenakan
ibunya pergi ke sekolah untuk mengajar. Ibunya sosok perempuan dan pengajar
yang terkenal ramah dan sabar, dulu siswa-siswinya sering silaturrahmi ke rumah
saat ia masih duduk di bangku Sekolah Dasar. Memori dalam pikirannya
mengingatkan kembali mengenai perkataan bapaknya terkait keinginan untuk anak
perempuannya melanjutkan pengabdian ibu sebagai seorang guru.
Kini ia sadar,
bahwa kedamaian yang selama ini ia cari ada dalam nasihat-nasihat orangtuanya.
Gelar pendidikan yang telah ditempuhnya ternyata membawa manfaat, tidak hanya
untuk dirinya tapi juga bagi masyarakat. Kini ia sadar, bahwa jati dirinya, passion dalam hidupnya dapat ia temukan
ketika ia kembali pulang. Pulang dari perantauan, pulang menuju ke kampung halaman.
Pulang untuk mengabdikan ilmunya di kota tempat kelahiran. Pulang menjadi
bermanfaat untuk lingkungan sekitar, tempat dimana ia dibesarkan. Pulang untuk
sebuah pengabdian. Pulang yang berujung kedamaian, tidak hanya dalam hati tapi
juga merasuk dalam jiwanya. Ia tenang ketika kembali pulang, bekerja dengan
riang, mengabdikan ilmu dengan senang, setiap harinya bisa selalu pulang serta
merawat orangtua yang hanya tinggal seorang. Ia merasa nyaman dengan status dan
perannya yang sekarang, pertanyaan tentang kekhawatiran akan jati dirinya telah
menuai jawaban.
Kembali pulang,
ternyata itu hasil dari pencariannya selama ini.
Kembali pulang,
ternyata itu yang berhasil membuat ia menemukan jati diri.
Kembali pulang, untuk menjadi pribadi yang lebih berarti.
-Selesai-
Penulis : AF
Cerita Pendek ini diterbitkan dalam sebuah buku antologi berjudul "Dialog Rasa" (Ruang Karya, 2021)