Senin, 27 Desember 2021

KEMBALI PULANG#2

 (sebelumnya disarankan untuk membaca episode 1 dahulu ya...)

Lembaran kertas dan amplop cokelat itu sengaja ia sebar di beberapa perusahaan luar kota, di Surabaya, Yogyakarta, Jakarta, Malang, Bandung hingga wilayah pulau Sumatera. Ia tidak begitu tertarik dengan dunia pendidikan meskipun bergelar S. Pd dan M. Pd. Ia menginginkan bekerja di perusahaan saja, gelar pendidikannya tak lain hanya untuk menuruti kemauan orangtuanya. Sebulan, dua bulan hingga enam bulan lamanya hanya menjadi pengangguran di rumah. Surat lamaran yang beberapa bulan lalu dikirimkan tak berbuah hasil seperti yang diharapkan, sebagian membalas dengan ucapan terima kasih karena sudah berpartisipasi dalam open recruitmen kerja, sebagian lainnya mengundang untuk melakukan wawancara, namun rezeki belum berpihak padanya.

Pagi itu ia duduk merenung di kursi teras depan sambil memainkan telepon genggam. Memikirkan ulang mengenai nasihat bapaknya enam bulan lalu ketika ia baru saja pulang dari perantauan. Mengapa ia tidak segera mendapatkan pekerjaan? Mengapa ia hingga detik ini masih juga jadi pengangguran? Apakah ini semua terjadi karena ia tidak patuh dengan arahan orangtuanya?

Tiba tiba suara dering dari telepon genggam menghentikan lamunannya, ada pesan masuk dari nomor tidak dikenal berisi panggilan wawancara di lembaga pendidikan yang terletak tak jauh dari rumahnya. Ia sengaja mengirimkan lamaran ke sekolah atas perintah dari bapaknya. Tanpa pikir panjang, bergegaslah ia lari menuju kamar untuk berdandan dan menyiapkan berkas yang harus dibawa saat wawancara. Dua puluh menit bergerak, sampailah ia di lembaga pendidikan tersebut. Ada 10 orang yang sedang antri menunggu giliran dipanggil untuk masuk ke dalam ruangan wawancara termasuk dirinya. Wawancara berjalan lancar hari itu, ia kembali pulang ke rumah untuk menunggu pengumuman hari besoknya.

Sore itu giliran Pak Darso yang duduk di teras depan sambil menikmati sepiring pisang goreng hangat.

"Nak.. Coba kemari sebentar, ada yang ingin bapak bicarakan padamu", ucap Pak Darso ke arah ruang tamu.

"Iya Pak" ucapnya sembari berjalan menuju teras depan.

"Bagaimana hasil dari surat lamaran yang sudah dikirimkan kemarin?," tanya Pak Darso.

"Alhamdulillah, kemarin baru wawancara lagi di sekolah. Tinggal nunggu pengumuman keluar besok. Doakan ya, Pak" ucapnya.

"Selalu bapak doakan. Semoga anak bapak diterima dan bisa berkarier di lembaga pendidikan. Bapak ingin sekali anak perempuan bapak satu-satunya ini menjadi seorang guru, sama dengan almarhumah ibumu dulu." Tutur Pak Darso dengan lembut.

"Kring... Kring... Kring," suara telepon berdering di dalam kamar.

"Ada suara telepon, Nak. Coba diangkat dulu" ucap Pak Darso ke anaknya.

"Iya, Pak" jawabnya sembari berlari menuju kamar.

Ternyata dering telepon dari nomor yang tidak dikenal, ada rasa ragu dan takut untuk mengangkatnya, namun mencoba untuk memberanikan diri.

"Assalamualaikum. Apa benar ini dengan Mbak Ananda Ningrum?", tanya orang di seberang sana.

"Iya benar dengan saya sendiri", jawabnya.

"Selamat ya Mbak. Berdasarkan hasil keputusan Kepala Sekolah, Mbak Nanda diterima untuk bergabung di lembaga pendidikan kami. Besok pukul 08.00 diharapkan datang ke kantor terkait koordinasi jadwal" jelas seseorang dalam telepon tersebut.

"Alhamdulillah. Terima kasih untuk informasinya" balas ia singkat.

Setelah telepon dimatikan, ia berjalan menuju teras depan menemui Pak Darso untuk memberi kabar terkait diterimanya ia di sekolah rekomendasi bapaknya. Hidangan pisang goreng di atas piring hanya tinggal sepotong, sengaja disisakan untuk dimakan oleh putrinya. Pak Darso sedang menikmati suasana jalanan yang cukup lenggang.

"Pak.. Aku ketrima di sekolahan itu. Barusan ditelepon sama pihak Tata Usaha, besok pukul 08.00 pembagian jadwal," ucapnya pelan.

"Lho.. Alhamdulillah, kamu ketrima Nak. Bapak ikut seneng dengernya. Semoga berkah dan lancar proses ke depannya. Akhirnya, Ya Allah... Anak perempuanku menjadi guru melanjutkan pengabdian ibunya" ucap Pak Darso bahagia sambil memeluk tubuh anak perempuannya.

***

Tak terasa dua tahun sudah ia mengabdikan ilmunya di lembaga pendidikan ini, hari-hari dilewati dengan senang hati, lambat laun mulai menemukan rasa nyaman atas apa yang dilakukan. Ternyata begitu antusias mengajarkan ilmu kepada siswa-siswinya, tak hanya mengajar di dalam kelas, namun juga belajar di luar kelas dengan tambahan game-game edukatif yang menyenangkan. Baginya belajar bisa dimanapun, tidak harus di kelas, di bawah pohon, di lapangan, di taman, hingga di perpustakaan. Baginya belajar bisa kapanpun, ia memfasilitasi siswa-siswinya untuk bertanya ataupun berdiskusi kapan saja, tidak harus di lingkungan sekolah. Siswa-siswi diberikan kesempatan untuk datang ke rumah apabila ingin berdiskusi, bila tidak memungkinkan bisa melalui telepon. Tindakan, perilaku, aktivitas dan kebiasannya menjadikan ia seorang guru yang disenangi oleh siswa-siswinya. Guru Millenial, adalah sebutannya di sekolah. Tidak hanya menjadi guru yang disenangi oleh siswa-siswinya, beberapa kali ia mewakili sekolah sebagai delegasi guru inspiratif di tingkat Provinsi. Kini ia menemukan apa yang selama ini dicarinya. Ya, pendidik atau guru adalah passion yang tepat untuknya.

Angin pagi itu berhembus kencang menerpa daun-daun hingga jatuh berguguran, tertuju pandangannya pada sebuah benda berbentuk persegi panjang di atas meja. Ia pandangi seseorang dalam frame foto itu, waktu berjalan begitu cepat, ternyata sudah 7 tahun yang lalu ibunya meninggal. Seragam batik di dalam foto merupakan seragam yang biasa dikenakan ibunya pergi ke sekolah untuk mengajar. Ibunya sosok perempuan dan pengajar yang terkenal ramah dan sabar, dulu siswa-siswinya sering silaturrahmi ke rumah saat ia masih duduk di bangku Sekolah Dasar. Memori dalam pikirannya mengingatkan kembali mengenai perkataan bapaknya terkait keinginan untuk anak perempuannya melanjutkan pengabdian ibu sebagai seorang guru.

Kini ia sadar, bahwa kedamaian yang selama ini ia cari ada dalam nasihat-nasihat orangtuanya. Gelar pendidikan yang telah ditempuhnya ternyata membawa manfaat, tidak hanya untuk dirinya tapi juga bagi masyarakat. Kini ia sadar, bahwa jati dirinya, passion dalam hidupnya dapat ia temukan ketika ia kembali pulang. Pulang dari perantauan, pulang menuju ke kampung halaman. Pulang untuk mengabdikan ilmunya di kota tempat kelahiran. Pulang menjadi bermanfaat untuk lingkungan sekitar, tempat dimana ia dibesarkan. Pulang untuk sebuah pengabdian. Pulang yang berujung kedamaian, tidak hanya dalam hati tapi juga merasuk dalam jiwanya. Ia tenang ketika kembali pulang, bekerja dengan riang, mengabdikan ilmu dengan senang, setiap harinya bisa selalu pulang serta merawat orangtua yang hanya tinggal seorang. Ia merasa nyaman dengan status dan perannya yang sekarang, pertanyaan tentang kekhawatiran akan jati dirinya telah menuai jawaban. 

Kembali pulang, ternyata itu hasil dari pencariannya selama ini.

Kembali pulang, ternyata itu yang berhasil membuat ia menemukan jati diri.

Kembali pulang, untuk menjadi pribadi yang lebih berarti.


-Selesai-


Penulis : AF

Cerita Pendek ini diterbitkan dalam sebuah buku antologi berjudul "Dialog Rasa" (Ruang Karya, 2021)

Kamis, 02 Desember 2021

KEMBALI PULANG #1

Suara bising kendaraan bermotor di tengah hiruk pikuk kota Malang senja itu menemani ia menghabiskan waktu. Langit sedang cantik-cantiknya, semburat merah jingga berpadu dengan warna putih biru membuat suasana semakin sendu. Beberapa pedagang makanan mulai menyiapkan lapak untuk berjualan. Ia berjalan seorang diri, menyusuri jalan setapak yang hampir setiap pagi dilalui. Pikirannya kacau, kondisinya sedang tidak baik-baik saja. Di usia yang sudah menginjak seperempat abad ini, ia belum juga menemukan siapa jati dirinya, akan dibawa kemana ijasah yang sudah diperoleh, sebenarnya apa yang ia mau, apa cita-citanya, apa keinginan yang harus dikejar dan serentetan pertanyaan kekhawatiran bergantian memenuhi pikirannya. Mungkin ini yang disebut Quarter Life Crisis.

Setiap hari menjalankan rutinitas sebagai seorang mahasiswa, bergulat dengan tugas dan karya ilmiah. Ia memilih untuk melanjutkan pendidikannya pada jenjang magister sebagai pelarian atas kenyataan hidup pasca lulus.

"Aku belum siap bekerja, ilmuku belum cukup. Aku harus kuliah lagi", katanya.

Kuliah lagi. Ya, kalimat itu yang menjadi jawaban atas dirinya. Entah untuk mendalami ilmu pendidikan dan menjalankan arahan dari orangtua atau hanya sekedar pelarian dari kenyataan yang sedang dihadapi. Selama menempuh pendidikan magisternya ia tidak hanya kuliah-pulang-kuliah-pulang atau kalau dalam istilah mahasiswa Kupu-Kupu, mencoba untuk aktif di organisasi kampus, berbaur dengan teman beda jurusan menjadi lahan praktikumnya untuk mencari teman hidup yang sefrekuensi dengannya.

Siang itu matahari sedang terik, daun-daun kering pohon mangga berjatuhan di tanah sepanjang jalan menuju ke perpustakaan. Dua orang perempuan berjalan bersampingan dengan gerak langkah yang tak seirama, tumpukan buku dan beberapa kertas catatan revisi ditangannya mengisyaratkan untuk segera dieksekusi.

"Bagaimana ada yang tertarik nggak kira-kira sama temen kampus?" Tanya seorang teman kepadanya.

"Tertarik? Belum ada." Jawabnya singkat, sembari meneruskan langkah menuju perpustakaan.

"Sebenarnya yang kau cari seperti apa?" Lanjut seorang teman, sembari mengikuti langkahnya.

"Entahlah, nanti juga datang sendiri. Sudahlah, bahas yang lain saja." Katanya dengan nada kesal.

Rupanya ia merasa terganggu dengan pertanyaan yang baru saja dilontarkan temannya, mengalihkan pembicaraan ke topik yang lain adalah caranya menghentikan pertanyaan-pertanyaan tentang masa depan yang datang dari seorang teman. Menurutnya, hal-hal seperti itu hanya membuang waktu saja. Lebih baik fokus dengan pencapaian, pendidikan misalnya. Ia merupakan seorang yang rajin dan cerdas, belum sampai 2 tahun pendidikan magisternya sudah tuntas.

Semarak kelulusan hari itu memenuhi gedung Graha Cakrawala, pakaian kebaya lengkap disertai toga dikenakan oleh perempuan manis dengan make-up tipis. Selembar kertas ijasah itu kembali ia dapatkan, mirip dengan peristiwa 20 bulan yang lalu ketika ia baru saja lulus sarjana. Pertanyaan-pertanyaan itu kembali datang merasuki pikirannya, yang mau tak mau harus dipecahkan bagaimana solusinya.

"Setelah ini aku harus kemana?"

"Bekerja? Dimana? Gajinya berapa? Atau menikah saja? Dengan siapa?”, katanya lirih ketika berdiri di depan cermin sembari membenarkan posisi jilbab yang dipakainya.

***

Rumah sederhana yang terletak di pinggiran kota itu tampak sepi, hanya ada satu orang penghuni lelaki paruh baya bernama Pak Darso. Di usia senjanya Pak Darso hidup sendiri, anak pertamanya tinggal bersama istri di Palembang, anak keduanya bekerja sebagai teknisi di Yogyakarta, dan anak terakhirnya baru saja pulang dari perantauan setelah tuntas menyelesaikan pendidikan magister.

"Tok.. Tok.. Tok.." Terdengar suara pintu diketuk olehnya.

"Assalamualaikum, Pak. Nanda pulang", teriaknya.

"Wa'alaikumsalam, Nak", jawab Pak Darso yang sedang berjalan ke arah pintu.

Anak dan bapak tersebut duduk di ruang tamu untuk saling melepas kerinduan. Pak Darso mendengar keluh kesah anak perempuannya terkait kehidupan pasca lulus, sementara ia sesekali meneguk segelas susu putih hangat ketika bercerita.

"Aku ini sudah lulus Pak. Gelarku sudah Magister. Kalau bekerja harusnya gajiku ya tinggi. Kalaupun harus menikah suamiku ya harus berpendidikan tinggi juga", ucapnya sambil melihat tajam mata Pak Darso.

"Sudah, kamu kerja di rumah saja. Ndak usah ke luar kota, ngajar di sini saja yang setiap hari bisa pulang ke rumah. Ndak papa to, gajinya nggak tinggi tapi inshaAllah berkah", tutur Pak Darso sembari membenarkan posisi duduknya.

(berlanjut di episode #2 ya...)

Penulis : AF

SURYA MALAM HARI #2

  Diharapkan untuk membaca part 1 terlebih dahulu, ya. . . . Tepat ketika Dea berangkat pulang dari Stasiun Bandung pukul 15.45 WIB kemarin,...