Suara bising kendaraan bermotor di tengah hiruk pikuk kota Malang senja itu menemani ia menghabiskan waktu. Langit sedang cantik-cantiknya, semburat merah jingga berpadu dengan warna putih biru membuat suasana semakin sendu. Beberapa pedagang makanan mulai menyiapkan lapak untuk berjualan. Ia berjalan seorang diri, menyusuri jalan setapak yang hampir setiap pagi dilalui. Pikirannya kacau, kondisinya sedang tidak baik-baik saja. Di usia yang sudah menginjak seperempat abad ini, ia belum juga menemukan siapa jati dirinya, akan dibawa kemana ijasah yang sudah diperoleh, sebenarnya apa yang ia mau, apa cita-citanya, apa keinginan yang harus dikejar dan serentetan pertanyaan kekhawatiran bergantian memenuhi pikirannya. Mungkin ini yang disebut Quarter Life Crisis.
Setiap hari
menjalankan rutinitas sebagai seorang mahasiswa, bergulat dengan tugas dan
karya ilmiah. Ia memilih untuk melanjutkan pendidikannya pada jenjang magister
sebagai pelarian atas kenyataan hidup pasca lulus.
"Aku belum
siap bekerja, ilmuku belum cukup. Aku harus kuliah lagi", katanya.
Kuliah lagi. Ya,
kalimat itu yang menjadi jawaban atas dirinya. Entah untuk mendalami ilmu
pendidikan dan menjalankan arahan dari orangtua atau hanya sekedar pelarian
dari kenyataan yang sedang dihadapi. Selama menempuh pendidikan magisternya ia
tidak hanya kuliah-pulang-kuliah-pulang atau kalau dalam istilah mahasiswa
Kupu-Kupu, mencoba untuk aktif di organisasi kampus, berbaur dengan teman beda
jurusan menjadi lahan praktikumnya untuk mencari teman hidup yang sefrekuensi
dengannya.
Siang itu matahari
sedang terik, daun-daun kering pohon mangga berjatuhan di tanah sepanjang jalan
menuju ke perpustakaan. Dua orang perempuan berjalan bersampingan dengan gerak
langkah yang tak seirama, tumpukan buku dan beberapa kertas catatan revisi
ditangannya mengisyaratkan untuk segera dieksekusi.
"Bagaimana
ada yang tertarik nggak kira-kira
sama temen kampus?" Tanya seorang teman kepadanya.
"Tertarik?
Belum ada." Jawabnya singkat, sembari meneruskan langkah menuju
perpustakaan.
"Sebenarnya
yang kau cari seperti apa?" Lanjut seorang teman, sembari mengikuti
langkahnya.
"Entahlah,
nanti juga datang sendiri. Sudahlah, bahas yang lain saja." Katanya dengan
nada kesal.
Rupanya ia merasa
terganggu dengan pertanyaan yang baru saja dilontarkan temannya, mengalihkan
pembicaraan ke topik yang lain adalah caranya menghentikan
pertanyaan-pertanyaan tentang masa depan yang datang dari seorang teman.
Menurutnya, hal-hal seperti itu hanya membuang waktu saja. Lebih baik fokus
dengan pencapaian, pendidikan misalnya. Ia merupakan seorang yang rajin dan cerdas,
belum sampai 2 tahun pendidikan magisternya sudah tuntas.
Semarak kelulusan
hari itu memenuhi gedung Graha Cakrawala, pakaian kebaya lengkap disertai toga
dikenakan oleh perempuan manis dengan make-up
tipis. Selembar kertas ijasah itu kembali ia dapatkan, mirip dengan peristiwa
20 bulan yang lalu ketika ia baru saja lulus sarjana. Pertanyaan-pertanyaan itu
kembali datang merasuki pikirannya, yang mau tak mau harus dipecahkan bagaimana
solusinya.
"Setelah ini
aku harus kemana?"
"Bekerja?
Dimana? Gajinya berapa? Atau menikah saja? Dengan siapa?”, katanya lirih ketika
berdiri di depan cermin sembari membenarkan posisi jilbab yang dipakainya.
***
Rumah sederhana
yang terletak di pinggiran kota itu tampak sepi, hanya ada satu orang penghuni
lelaki paruh baya bernama Pak Darso. Di usia senjanya Pak Darso hidup sendiri,
anak pertamanya tinggal bersama istri di Palembang, anak keduanya bekerja
sebagai teknisi di Yogyakarta, dan anak terakhirnya baru saja pulang dari
perantauan setelah tuntas menyelesaikan pendidikan magister.
"Tok.. Tok..
Tok.." Terdengar suara pintu diketuk olehnya.
"Assalamualaikum,
Pak. Nanda pulang", teriaknya.
"Wa'alaikumsalam,
Nak", jawab Pak Darso yang sedang berjalan ke arah pintu.
Anak dan bapak
tersebut duduk di ruang tamu untuk saling melepas kerinduan. Pak Darso
mendengar keluh kesah anak perempuannya terkait kehidupan pasca lulus,
sementara ia sesekali meneguk segelas susu putih hangat ketika bercerita.
"Aku ini
sudah lulus Pak. Gelarku sudah Magister. Kalau bekerja harusnya gajiku ya
tinggi. Kalaupun harus menikah suamiku ya harus berpendidikan tinggi
juga", ucapnya sambil melihat tajam mata Pak Darso.
"Sudah, kamu
kerja di rumah saja. Ndak usah ke
luar kota, ngajar di sini saja yang setiap hari bisa pulang ke rumah. Ndak papa to, gajinya nggak tinggi tapi inshaAllah
berkah", tutur Pak Darso sembari membenarkan posisi duduknya.
(berlanjut di episode #2 ya...)
Penulis : AF
Tidak ada komentar:
Posting Komentar