Kamis, 02 Desember 2021

KEMBALI PULANG #1

Suara bising kendaraan bermotor di tengah hiruk pikuk kota Malang senja itu menemani ia menghabiskan waktu. Langit sedang cantik-cantiknya, semburat merah jingga berpadu dengan warna putih biru membuat suasana semakin sendu. Beberapa pedagang makanan mulai menyiapkan lapak untuk berjualan. Ia berjalan seorang diri, menyusuri jalan setapak yang hampir setiap pagi dilalui. Pikirannya kacau, kondisinya sedang tidak baik-baik saja. Di usia yang sudah menginjak seperempat abad ini, ia belum juga menemukan siapa jati dirinya, akan dibawa kemana ijasah yang sudah diperoleh, sebenarnya apa yang ia mau, apa cita-citanya, apa keinginan yang harus dikejar dan serentetan pertanyaan kekhawatiran bergantian memenuhi pikirannya. Mungkin ini yang disebut Quarter Life Crisis.

Setiap hari menjalankan rutinitas sebagai seorang mahasiswa, bergulat dengan tugas dan karya ilmiah. Ia memilih untuk melanjutkan pendidikannya pada jenjang magister sebagai pelarian atas kenyataan hidup pasca lulus.

"Aku belum siap bekerja, ilmuku belum cukup. Aku harus kuliah lagi", katanya.

Kuliah lagi. Ya, kalimat itu yang menjadi jawaban atas dirinya. Entah untuk mendalami ilmu pendidikan dan menjalankan arahan dari orangtua atau hanya sekedar pelarian dari kenyataan yang sedang dihadapi. Selama menempuh pendidikan magisternya ia tidak hanya kuliah-pulang-kuliah-pulang atau kalau dalam istilah mahasiswa Kupu-Kupu, mencoba untuk aktif di organisasi kampus, berbaur dengan teman beda jurusan menjadi lahan praktikumnya untuk mencari teman hidup yang sefrekuensi dengannya.

Siang itu matahari sedang terik, daun-daun kering pohon mangga berjatuhan di tanah sepanjang jalan menuju ke perpustakaan. Dua orang perempuan berjalan bersampingan dengan gerak langkah yang tak seirama, tumpukan buku dan beberapa kertas catatan revisi ditangannya mengisyaratkan untuk segera dieksekusi.

"Bagaimana ada yang tertarik nggak kira-kira sama temen kampus?" Tanya seorang teman kepadanya.

"Tertarik? Belum ada." Jawabnya singkat, sembari meneruskan langkah menuju perpustakaan.

"Sebenarnya yang kau cari seperti apa?" Lanjut seorang teman, sembari mengikuti langkahnya.

"Entahlah, nanti juga datang sendiri. Sudahlah, bahas yang lain saja." Katanya dengan nada kesal.

Rupanya ia merasa terganggu dengan pertanyaan yang baru saja dilontarkan temannya, mengalihkan pembicaraan ke topik yang lain adalah caranya menghentikan pertanyaan-pertanyaan tentang masa depan yang datang dari seorang teman. Menurutnya, hal-hal seperti itu hanya membuang waktu saja. Lebih baik fokus dengan pencapaian, pendidikan misalnya. Ia merupakan seorang yang rajin dan cerdas, belum sampai 2 tahun pendidikan magisternya sudah tuntas.

Semarak kelulusan hari itu memenuhi gedung Graha Cakrawala, pakaian kebaya lengkap disertai toga dikenakan oleh perempuan manis dengan make-up tipis. Selembar kertas ijasah itu kembali ia dapatkan, mirip dengan peristiwa 20 bulan yang lalu ketika ia baru saja lulus sarjana. Pertanyaan-pertanyaan itu kembali datang merasuki pikirannya, yang mau tak mau harus dipecahkan bagaimana solusinya.

"Setelah ini aku harus kemana?"

"Bekerja? Dimana? Gajinya berapa? Atau menikah saja? Dengan siapa?”, katanya lirih ketika berdiri di depan cermin sembari membenarkan posisi jilbab yang dipakainya.

***

Rumah sederhana yang terletak di pinggiran kota itu tampak sepi, hanya ada satu orang penghuni lelaki paruh baya bernama Pak Darso. Di usia senjanya Pak Darso hidup sendiri, anak pertamanya tinggal bersama istri di Palembang, anak keduanya bekerja sebagai teknisi di Yogyakarta, dan anak terakhirnya baru saja pulang dari perantauan setelah tuntas menyelesaikan pendidikan magister.

"Tok.. Tok.. Tok.." Terdengar suara pintu diketuk olehnya.

"Assalamualaikum, Pak. Nanda pulang", teriaknya.

"Wa'alaikumsalam, Nak", jawab Pak Darso yang sedang berjalan ke arah pintu.

Anak dan bapak tersebut duduk di ruang tamu untuk saling melepas kerinduan. Pak Darso mendengar keluh kesah anak perempuannya terkait kehidupan pasca lulus, sementara ia sesekali meneguk segelas susu putih hangat ketika bercerita.

"Aku ini sudah lulus Pak. Gelarku sudah Magister. Kalau bekerja harusnya gajiku ya tinggi. Kalaupun harus menikah suamiku ya harus berpendidikan tinggi juga", ucapnya sambil melihat tajam mata Pak Darso.

"Sudah, kamu kerja di rumah saja. Ndak usah ke luar kota, ngajar di sini saja yang setiap hari bisa pulang ke rumah. Ndak papa to, gajinya nggak tinggi tapi inshaAllah berkah", tutur Pak Darso sembari membenarkan posisi duduknya.

(berlanjut di episode #2 ya...)

Penulis : AF

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

SURYA MALAM HARI #2

  Diharapkan untuk membaca part 1 terlebih dahulu, ya. . . . Tepat ketika Dea berangkat pulang dari Stasiun Bandung pukul 15.45 WIB kemarin,...