Senin, 24 Juni 2024

SURYA MALAM HARI #2

 Diharapkan untuk membaca part 1 terlebih dahulu, ya.

. . .

Tepat ketika Dea berangkat pulang dari Stasiun Bandung pukul 15.45 WIB kemarin, disaat itulah ibunya menghempuskan nafas untuk terakhir kalinya. Tidak ada yang sanggup memberi kabar duka ini kepada Dea, sebab ia sendirian dalam perjalanan menggunakan kereta malam menuju Kabupaten Tulungagung, kampung halamannya. Beberapa kerabat mengirimkan pesan untuk selalu menguatkan hati. Aneh kalau dipikir. Tapi, ia tetap berkeyakinan positif bahwa ibunya sembuh ketika ia pulang.

"Pulangku adalah obat untuk ibuku"

Kalimat itu yang menjadi sebuah sugesti dalam dirinya sepanjang perjalanan hingga ia pulang ke rumah menghadapi kenyataan bahwa ibunya telah berpulang.

Sosok ibu sebagai perantara ia lahir ke dunia kini telah tiada. Dua puluh satu tahun sudah kebersamaan dengannya di dunia. Banyak kenangan dan nasihat yang diberikan oleh sang ibunda. Nasihat untuk tetap tegar dan kuat menjalani kehidupan. Tumbuh menjadi sosok perempuan yang anggun tapi tetap tangguh, tegas tapi tetap cerdas, berambisi tapi tetap rendah hati.

"Ibumu sudah tiada, Nak." Jawab Pak Malik pelan sembari memeluk erat tubuh anak perempuannya.

Tubuh perempuan itu lemas. Suara tangis menggelegar ke penjuru rumah. Tangisannya mengisyaratkan bahwa dirinya belum siap kehilangan.

"Ibu, bentar lagi aku wisuda Sarjana. Tapi, engkau telah lebih dulu pulang ke pangkuan-Nya. Allah lebih sayang denganmu, Bu. Semoga engkau tenang di Surga-Nya.", ucap Dea lirih ketika memegang batu nisan di pemakaman ibunya.

"Pulangku adalah obat untuk ibuku"

Kalimat itu teringat kembali olehnya. Pulangnya memang menjadi obat bagi ibunya. Kini ibunya sudah tidak merasakan sakit lagi.

“Selamat jalan, Ibu. Surga adalah tempat peristirahatan bagimu.” Ucap Dea sembari beranjak dari pemakaman ibunya.

Perihal kehilangan merupakan salah satu bagian dari sisi kehidupan. Tidak ada yang salah dari kehilangan, yang salah adalah ketika kita terlalu tenggelam larut dalam kesedihan. Kehilangan itu wajar, sebab setiap yang datang akan pergi. Setiap yang bernyawa pasti merasakan mati. Merasa hilang karena kita pernah merasa memiliki atau sangat merasa memiliki. Padahal sebenarnya kita tidak sedang memiliki apapun.

Semua yang ada pada diri kita, yang ada di sekitar kita adalah titipan dari-Nya. Apa yang ada di langit dan yang ada di bumi adalah milik-Nya dan akan kembali kepada-Nya. Harta, kekayaan, keindahan fisik, kepandaian, keluarga, saudara dan apapun itu semuanya adalah amanah dari Tuhan. Merawat, menggunakan dengan bijak tanpa merusak adalah tugas kita sebagai sebaik-baik insan. 

Begitu juga dengan kehilangan sosok ibu, darinya bisa diambil pelajaran bahwa kita tidak bisa memprediksi seberapa lama waktu kita bersama dengan orang yang kita sayangi. Selagi masih ada waktu, temuilah dan peluk eratlah ibu. Apabila sedang jauh, segeralah ambil teleponmu dan ajak ibu bercerita banyak hal. Percayalah, kita akan sangat rindu nantinya ketika sosok ibu sudah tak ada lagi di dunia. Aroma masakan kesukaannya, nasihat-nasihat baiknya, hingga ocehan setiap hari sebagai bahasa peduli kini tak terdengar lagi. Berat memang membayangkan hidup tanpa sosok ibu di masa lajang. Tapi, hidup harus tetap dijalankan ada atau tidaknya sosok ibu di dunia.

Sosok ibu mungkin sudah tidak nampak di dunia, tapi ia akan selalu bersinar dalam hati dan ingatan anak-anaknya. Ibu bagaikan sang surya di malam hari. Sinarnya akan tetap terang meski langit sedang gelap. Ibu mungkin sudah tidak hidup, tapi sinarnya tak akan pernah redup. Sinarnya akan tetap menyapa di malam-malam berikutnya, meski ibu tidak bisa ditemui kembali di dunia.

Belajar menyikapi kehilangan dengan hati yang lapang. Belajar untuk bisa mengikhlas apa yang seharusnya kita lepas. Tetaplah bernafas meski terkadang sulit, tetaplah memilih untuk bangkit meski berkali-kali jatuh sakit, serta tetaplah berusaha berjuang untuk diri sendiri dan orang sekitar. Seberat apapun ujian yang didapatkan, semoga Tuhan senantiasa memberi kekuatan. Percayalah, Tuhan tidak akan menguji hamba-Nya melebihi batas kemampuan seorang hamba. Lalu, kenapa harus kita? Jawabnya adalah karena kita istimewa. Kita adalah insan pilihan Tuhan yang diberikan kesempatan untuk merasakan ujian berupa kehilangan ini. Bersyukurlah, karena tidak semua orang bisa seperti kita dan mampu melewati serta bertahan sampai sejauh ini. Selamat dan semangat untuk menghadapi ritme kehidupan kedepannya. Selalu berusaha memberi afirmasi positif untuk diri kita dan orang-orang di sekitar kita. Tetaplah tersenyum serta belajar lebih baik dari diri kita yang kemarin. Sekali lagi, selamat dan semangat. J

Pesan dari Dea yang penuh arti. Tertulis rapi pada secarik kertas di atas meja belajarnya.  


Cerita Pendek ini telah diterbitkan dalam sebuah buku antologi berjudul -Rangkul, Afirmasi Kehilangan- Pada tahun 2022 oleh Penerbit SIP Publishing.

 Hasil kolaborasi antara @afirmasidiri.id X @lentera.project

Selasa, 18 Juni 2024

SURYA MALAM HARI #1


Sebuah Cerita Pendek yang ditulis oleh Afriska Kusnia, terinspirasi dari cerita perjalanan hidupnya mengenai kehilangan dan berupaya bangkit setelahnya.


“Surya Malam Hari”

Karya : Afriska Kusnia


"Kring.. Kring... Kring..." suara dering berbunyi dari telepon genggamnya.

"Sebentar lagi aku sampai pada tempat tujuan, ku angkat nanti saja" gumam ia dalam hati.

            Angkutan kota yang ditumpangi kala itu sesak dengan para penumpang. Mendapat tempat duduk di bangku pojok sebelah kanan membuatnya terhimpit sehingga kesulitan bergerak untuk mengambil telepon genggam yang ada di ransel belakang. Ia abaikan suara dering telepon berbunyi. Jalanan sangat ramai sore itu, beberapa kendaraan membunyikan klakson bergiliran, memerebutkan jalan dengan masing-masing kepentingan. Kendaran bermotor berjejer di jalan raya seperti sedang perayaan kemenangan dari sebuah liga. Asap kendaraan mengepul menambah suasana sesak jalan kota.

            Ia turun di terminal dekat asrama tempat tinggalnya. Terminal Ledeng namanya, tempat dimana para mahasiswa dan orang-orang mengantri bus, angkutan kota menuju ke wilayah Bandung Raya. Selain itu, terminal ini merupakan salah satu terminal yang paling dekat dengan kampusnya, ia biasa naik dan turun dari angkutan kota di terminal ini. Terminal yang nyaris tidak pernah sepi oleh penumpang, baik di siang maupun malam hari. Tapak kakinya berjalan menyusuri tanjakan ringan naik ke asramanya. Hembusan nafasnya terengah-engah saat menaiki tanjakan yang lebih tinggi. Detak jantungnya berdetak lebih kencang ketika ia mulai mempercepatkan langkah kakinya.

Telepon genggamnya berdering kembali.

"Assalamualaikum, Buk. Maaf, tadi Dea masih di perjalanan. Angkutan kota sore ini lumayan penuh dan berdesakan, jadi belum bisa jawab telepon dari ibuk" ucapnya mengawali percakapan di telepon genggam.

"Wa'alaikumsalam, Nak. Ini bapak. Kamu bisa segera pulang ke rumah? Ibumu sedang kritis di Rumah Sakit" ucap Pak Malik pelan disertai dengan isak tangis dari kejauhan.

            Perasaan hati Dea saat itu sangat kacau, khawatir dengan kondisi kesehatan ibunya. Ia ingin segera pulang ke rumah saat itu juga. Tiket kereta, tiket bus, dan tiket pesawat semuanya telah habis. Dengan berat hati dia harus pulang besok hari. Malam itu, ia tidak nyenyak tidur. Kepikiran terus dengan kondisi ibunya. Berusaha untuk memantau kondisi ibunya melalui bapaknya.

"Semoga besok kamu bisa segera pulang ya, Nak."

Selalu itu kalimat yang diucapkan bapaknya untuk menenangkan putrinya.

Malam semakin larut, perasaan hati Dea semakin gelisah. Ia berusaha menenangkan hatinya dengan berdzikir mengingat Allah, berdoa untuk kesembuhan ibunya, hingga pada akhirnya terlelap.

***

Seusai melakukan sholat Subuh berjama’ah di Masjid Al-Furqon, ia berdoa untuk kesembuhan ibunya. Pulangku adalah obat buat ibu, kalimat itu yang menjadi sugesti dalam dirinya. Ia berkeyakinan bahwa kepulangannya ke kampung halaman akan membawa kesembuhan untuk ibunya. Pagi itu, ia persiapkan semuanya. Sengaja membeli oleh-oleh untuk ibu dan keluarganya di kampung halaman. Berbelanja aneka makanan dan jajanan, tak lupa juga pakaian.

“Mumpung lagi di Bandung, harga pakaian lumayan ramah di kantong. Beliin baju buat keluarga di kampong sekalian lah..” ucapnya sembari memilah-milah baju gamis untuk ibunya.

Pulang belanja ia putuskan untuk mampir dulu ke alun-alun kota, sekalian jama’ah sholat dhuhur di Masjid Agung. Nyaman rasanya ketika ia menempelkan dahi ke lantai masjid ketika sedang melakukan gerakan sujud. Tak lupa memanjatkan doa untuk kesembuhannya ibunya. Tetes air mata mengalir pelan di pipi kanannya. Mata sayunya memandang tajam kea rah langit-langit masjid. Matanya terpejam perlahan, kemudia kedua telapak tangannya mengusap muka sembari menghapus tetes air mata.

Ia harus segera kembali ke asrama, persiapan untuk kepulangannya.

Sesampainya di asrama, ia berjalan menuju kantor keseketariatan untuk meminta perizinan pulang. Sebenarnya, pagi tadi ia sudah datang kemari. Tapi, sayang sekali pengurus asrama sedang tidak ada di ruangan.

Aneh.

Perizinan pulang kali ini terasa sangat mudah. Pengurus tanpa basa basi langsung memberikan persetujuan untuk pulang. Padahal, biasanya harus pidato paling cepat 30 menit untuk menyampaikan alasan kenapa harus pulang. Berbeda dengan Dea. Ia hanya mengatakan bahwa pulangnya merupakan amanah dari bapaknya untuk segera pulang sebab ibunya sedang kritis di Rumah Sakit.

Entahlah.

Ia tidak terlalu risau dengan hal tersebut. Mungkin saja bapaknya sudah menghubungi pengurus asrama terlebih dahulu terkait perizinan pulang ini, sehingga ia tidak perlu capek-capek menjelaskan ulang alasan kenapa ia harus segera pulang.

Motor berwarna hitam itu melaju dengan cepat menuju Stasiun Bandung. dea menyodorkan 2 lembar uang Rp. 10.000-, kepada pengemudi ojek tersebut. Tas ransel biru sudah siap di punggungnya lengkap dengan botol minum berwarna putih di kantong sebelah kanan. Tangan kirinya menjinjing tas merah dengan motif beruang coklat, sedangkan tangan kanannya memegang telepon genggam. Berusaha membuka aplikasi KAI Access untuk melihat posisi tempat duduk dan gerbong kereta yang akan ia tumpangi. Petugas kereta dengan sigap membantu menujukkan posisi kereta yang akan ditumpanginya. Sore itu, ada 4 lokomotif kereta yang sedang berbaris rapi di Stasiun Bandung. Cukup ramai.

Dea duduk di bangku dekat dengan jendela, tepat di gerbong 3. Ia segera menata barang-barang bawaannya di rak atas. Menyiapkan charger dan headset serta dompet di tas kecil yang ia bawa, meletakkan makanan dan minuman di meja, dan memutar lagu kesukaan untuk menemani sepanjang perjalanan. Cukup lama perjalanan kali ini, kurang lebih sekitar 14 jam perjalanan. Sesuai jadwal, ia akan tiba di stasiun tujuan di esok hari. Ia menikmati perjalanan dengan melihat pemandangan sekitar. Bentangan padi di sawah yang menghijau, deretan rumah penduduk di sepanjang rel kereta, para penumpang yang naik turun menambah serunya perjalanan.

Matahari mulai meredupkan sinarnya, bumi muali gelap pertanda malam akan segera datang. Mulutnya selalu berdoa untuk kesembuhan ibunya. Pulangku adalah obat buat ibu. Kalimat itu yang selalu diucapkan sepanjang perjalanan Berkeyakinan bahwa ibunya akan sembuh ketika ia pulang. Jarum pendek jam dinding menujukkan angka 9. Kereta berjalan semakin kencang mengikuti jalurnya, angin malam mengembus hingga lapisan kulit terdalam.

 

***

Sang surya mulai menampakkan sinarnya, semburat jingga berpadu dengan langit biru kehitaman. Udara pagi masih terasa dingin. Perlahan ia mulai membuka mata sembari membenarkan posisi duduknya. Angka di jam tangannya menunjukkan pukul 05.25 WIB, pertanda 10 menit lagi keretanya akan berhenti di stasiun tujuan.

Stasiun Tulungagung, terbaca dari kejauhan diiringi dengan laju kereta yang perlahan berjalan pelan. Para penumpang mempersiapkan barang bawaan untuk turun secara bergantian, ia berjalan menuju pintu keluar. Di balik gerbang ada sosok laki-laki paruh baya sedang duduk di atas sepeda motornya, itulah Pak Malik ayah dari Dea. Senyuman hangat dari seorang bapak menambah keyakinan Dea bahwa kondisi ibunya sedang baik-baik saja. Sepanjang perjalanan ke rumah terasa dingin, bukan sebab udara yang masih pagi tetapi sebab bapak dan anak tersebut sama sekali tidak saling berbincang. Dea beranggapan bapaknya mungkin capek karena kurang tidur merawat ibunya. Ia biarkan saja, dan selalu berkeyakinan positif terkait kondisi kesehatan ibunya.

"Pulangku adalah obat untuk ibuku".

Selalu kalimat itu yang diucapkan sepanjang perjalanan.

Roda sepeda motor melaju pelan ketika memasuki gang arah ke rumah Dea. Tidak juga ada obrolan atau sekedar pertanyaan ringan terkait sudah makan atau belum keluar dari mulut Pak Malik.

"Ibu sudah dibawa ke rumah, Pak?" Tanya Dea ke bapaknya.

Namun, tak jua ada jawaban darinya.

Matahari telah memancarkan sinarnya secara sempurna. Dea dan bapaknya tiba di depan rumah. Tumpukan kursi plastik berwarna hijau memenuhi teras depan. Kursi ruang tamunya berada di luar. Beberapa kerabat berkumpul di dapur belakang. 

"Rumahku sedang dibersihkan mungkin", pikir Dea.

Ia masuk ke ruang tamu, gelaran tikar memenuhi hampir seluruh lantainya. Ruang keluarga penuh dengan bahan makanan yang akan diolah. Berjalan menuju kamar ibunya, tak juga ia temui. Berlanjut ke kamarnya di samping ruang tamu depan, kosong. Hanya ada boneka beruang usang di pojokan dipan. Perasaanya mulai khawatir, ia mengulangi untuk melihat seisi ruangan yang ada di rumah. Di dapur juga tak ia temukan sosok ibunya. Adik perempuan ibunya diam mematung di depan pintu dapur, air matanya menetes pelan, matanya masih terlihat sembab seperti bekas tangisan. Bik Fatim, begitu sapaan Dea ke adik perempuan ibunya.

"Ibu kemana Bik?" Tanya Dea serius menatap tajam wajah Bibinya.

Bibinya hanya menggelengkan kepala.

Ia lari ke ruang tamu untuk menemui bapaknya. Pertanyaan yang sama terulangi.

"Ibu, kemana Pak?" Tanya Dea lirih.

Air matanya menetes pelan membasahi pipi, pandangan tajam ke muka bapaknya seolah-olah mengisyaratkan makna.

***

(BERSAMBUNG. . .)


Tunggu di part 2 ya!

Jumat, 09 Juni 2023

SINAR MENTARI #2

 Wahh.. Sudah lama ya, kedaiaksara_afku tidak memposting tulisan, hehe... Siapa nih yang nungguin kelanjutan cerita dari Sinar Mentari?. Yuk, gas baca hihi.

(Disarankan untuk membaca Sinar Mentari part 1 terlebih dahulu ya.)


    Suara tangisan bayi terdengar semakin keras, Anton kewalahan untuk menenangkan putrinya. Ia berusaha untuk menggendong putri kecilnya, sesekali menimang-nimangnya diiringi dengan bacaan sholawat nabi. Tiga puluh menit sudah Anton melakukannya, anak digendongannya perlahan diam dan memejamkan mata pertanda tidur. Ia menurunkan putri kecilnya dari gendongan dan meletakkan kembali ke kasur bayi di samping istrinya yang sedang tertidur pulas. Rupanya dari tadi siang si bayi mungil tersebut rewel minta digendong terus tidak mau diturunkan dari gendongan sang ibu.

        Anton sengaja tidak membangunkan istrinya, dia kasihan dengan istrinya karena dari pagi sampai magrib tadi sudah menjaga dan merawat putrinya dengan maksimal. Ketika malam tiba, menjadi jadwalnya Anton untuk gantian menjaga dan merawat putri mungilnya. Sebagai seorang laki-laki, Anton tau betul bagaimana cara memuliakan perempuan terutama istrinya. Menurutnya, peran menjaga, merawat dan mendidik anak bukan hanya menjadi tugas perempuan akan tetapi menjadi tugas laki-laki juga. Anak merupakan amanah dari Allah yang dititipkan kepada kedua orangtuanya, jadi sudah selayaknya kedua orangtuanyalah yang harus bertanggungjawab terkait dengan anak yang diamanahkan tersebut. Tidak hanya membebankan kepada salah satu pihak.

            Si bayi tertidur nyenyak disamping ibundanya. Bulir-bulir  sisa air mata masih menempel di pipi yang putih kemerahan. Selimut bulu tebal berwarna biru dengan hiasan kartun doraemon menutup hampir semua badannya, kecuali wajah. Pelukan dari ayah dan ibundanya menambah kehangatan di dini hari. Jam dinding menunjukkan pukul 02.00, tiga orang manusia penuh cinta saling berbagi kasih sayang sedang menikmati waktu istirahat dengan tidur di satu ranjang kayu berwarna cokelat.

“Tek.. Tek.. Tek”, hanya terdengar suara putaran jarum jam dinding malam itu. Sementara kondisi bumi mulai lenggang dengan aktivitas, malam terasa mencekam dengan udara dingin yang masuk ke ruas-ruas tulang.

***

            Suara kokok ayam bersahutan pertanda waktu fajar telah tiba. Asap mengepul berasal dari dapur, irama percikan air yang jatuh ke tanah membasahi bumi, suara adzan berkumandang saling bersahutan di antara beberapa mushola. Air mengalir deras dari kran, beberapa manusia berwudhu sebelum melakukan shalat subuh berjamaah. Dua orang perempuan berjalan cepat menuju mushola mengenakan mukena berwarna putih dengan sajadah terselempang di bahu kanannya.

            Cat dinding kamar berwarna putih mulai memudar, banyak coretan-coretan hasil buah tangan Sinar ketika waktu kecil dulu. Kini, bayi mungil itu telah tumbuh menjadi seorang gadis. Ia sedang duduk di bangku Madrasah Aliyah kelas 3. Ia tergolong siswi yang rajin dan berprestasi, selalu berhasil menjadi juara pertama di kelasnya, beberapa kali menang dalam lomba debat Bahasa Arab di tingkat nasional. Keterampilan bahasa Arabnya semakin terasah tatkala ia rutin mengikuti ekstrakulikuler bahasa di madrasahnya.

"Uhuk.. Uhuk.." Terdengar suara batuk dari kamar belakang.

            Pak Anton terbaring lemah di tempat tidurnya. Sudah hampir satu tahun belakangan ini sering keluar masuk rumah sakit guna pengobatan. Dokter telah memvonis Pak Anton menderita penyakit jantung koroner, terhitung sudah empat kali dalam satu tahun ini ia menjalankan rawat inap di rumah sakit. Biaya yang dikeluarkan cukup besar sehingga terpaksa mengorbankan dana tabungan pendidikan Sinar yang akan digunakan untuk melanjutkan ke jenjang perguruan tinggi. Pak Anton dan istrinya menginginkan anak semata wayangnya bisa melanjutkan pendidikan hingga jenjang pendidikan tinggi, maka dari itu ia bersama istrinya mempersiapkan dana pendidikan untuk anaknya. Tidak ingin anaknya memiliki nasib seperti mereka berdua yang hanya mampu menempuh pendidikan hingga tamat Sekolah Dasar saja, tidak bisa melanjutkan sekolah karena keterbatasan biaya dan kondisi ekonomi keluarga yang kurang. Namun, manusia hanya bisa merencanakan dan mempersiapkan, dana tabungan pendidikan Sinar habis digunakan untuk membayar biaya perawatan dan pengobatan ayahnya. Kondisi kesehatan Pak Anton semakin hari semakin memburuk. Nafsu makannya berkurang, berat badannya menurun secara drastis.

Pagi itu, Pak Anton hendak buang air kecil ke kamar mandi, ia berusaha berjalan sendiri menggunakan bantuan tongkat. Selain punya penyakit jantung koroner, Pak Anton mempunyai riwayat gejala stroke, sehingga harus hati-hati ketika berjalan saat kondisi sedang sakit. Buk Darmi, begitu sapaan dari istri Pak Anton sedang mempersiapkan makanan untuk sarapan pagi. Di kamar depan, Sinar bersiap-siap untuk pergi ke sekolah, ia meneliti kembali buku-buku yang dimasukkan ke dalam ransel disesuaikan dengan jadwal pelajaran hari itu.

"Praak..." suara tongkat jatuh tergeletak di lantai depan kamar mandi.

"Buk, apa yng jatuh? "Teriak Sinar dari dalam kamar.

"Ayahmu, Nak." Jawab Buk Darmi iba.

Sinar berlari menuju kamar mandi, ia dapati tubuh ayahnya sudah tergrletak di lantai depan kamar mandi dengan tongkat yang terletak agak jauh. Ibu dan Sinar berusaha menolong Pak Anton, membantunya untuk bisa berdiri lagi. Sinar memberikan tongkat kepada ayahnya dan menuntun berjalan untuk kembali lagi ke kamar. Tubuh Pak Anton semakin lemah, wajahnya pucat pasi, tubuhnya semkin kurus. Ibu datang membawa minuman hangat, menyuapkan sedikit demi sedikit ke mulut Pak Anton. Sinar bergegas untuk pergi ke sekolah, akan tetapi sang ayah menahannya.

"Sini dulu, Nak. Duduk samping ayah. Ayah kangen dibacakan sholawat nabi." Tutur Pak Anton pelan dan terbata bata.

Sinar menuruti perintah ayahnya, ia duduk di kursi samping tempat tidur ayahnya. Membacakan sholawat nabi dan sesekali memijat lembut kaki ayahnya. Lima belas menit sudah Sinar membacakan sholawat nabi untuk ayahnya. Ia berniat untuk pamit pergi ke sekolah karena jam sudah menunjukkan pukul 06.45. Tiba-tiba ayahnya bilang "Suaramu merdu, Nak. Ayah tidur dulu, ya. Kamu yang rajin sekolahnya, wujudkan mimpimu bisa mengenyam pendidikan tinggi." Ucap pelan Pak Anton.

"Iya, Yah. Sinar pasti bisa mewujudkan cita-cita itu. Sinar bisa kuliah sampai S2 atau S3 sekalian." Jawab Sinar dengan penuh pengharapan sembari mencium lembut tangan sang ayah.

Lalu, ia menolek ke arah ayahnya. Wajah pucat itu tampak tersenyum, matanya tertutup rapat pertanda sudah tidur. Sinar sedikit lega karena ayahnya bisa istirahat sehingga ia bisa berangkat sekolah hari ini. Tapi, ada yang aneh sepertinya. Tidak ada hembusan nafas yang keluar dari lubang hidung ayahnya. Apakah benar begitu? Ia masih belum yakin. Berjalan menuju kamar belakang dan memerhatikan wajah ayahnya, mencoba meletakkan jari telunjuk di depan hidung ayahnya, berusaha mencari denyut nadi yang ada di lengan ayahnya. Tapi nihil. "Ayah sudah tidak ada, ayah sudah meninggal dunia," batinnya dalam hati.

"Ibuuuuk.. Ayah udah nggak ada buk. Ayah udah meninggal Buk.." teriak ia sambil memegang badan ayahnya.

            Rasanya masih belum percaya dengan kenyataan ini. Ayahnya izin tidur, ternyata tidur untuk selamanya. Sedangkan ia masih duduk di kelas 3 Madrasah Aliyah, 6 bulan lagi ia akan lulus. Ayahnya sudah lebih dulu pulang ke pangkuan-Nya sebelum melihat ia wisuda. Pilu sekali suasana hati Sinar saat itu, terbayang kembali semua moment-moment indah bersama ayahnya. Ayah yang selalu mengantarkannya pergi ke sekolah saat ia kecil, ayah yang selalu bilang "sekolahnya yang rajin ya, pokoknya harus bisa sekolah sampai perguruan tinggi, jangan seperti ayah dan ibu yang hanya lulusan Sekolah Dasar." Ayah sebagai cinta pertama anak perempuannya kini sudah tiada, tak ada lagi dongeng lucu yang penuh makna yang biasa ia bawakan menjelang tidur malam, tak ada lagi alunan irama sholawat nabi yang merdu dinyanyikan olehnya.

Ibu berusaha menguatkan Sinar, padahal dirinya sendiri sedang butuh dikuatkan. Uang tabungan telah habis untuk biaya pengobatan hingga tabungan dana pendidikan rela digunakan. Terlintas banyak sekali pertanyaan di dalam pikiran ibunya. Darimana ia akan membiayai dan menghidupi Sinar? Apakah masih bisa ia mewujudkan cita-cita untuk memberikan pendidikan hingga jenjang perguruan tinggi ke anaknya? "Ya Allah, kuatkan dan tabahkanlah hamba," doanya dalam hati.

Prosesi pemakaman suaminya berjalan lancar, banyak saudara dan tetangga yang datang ke rumah turut berduka cita.

***

Kebaya merah lengkap dengan kain batik sebagai jarik dikenakan oleh Buk Darmi. Ia berdandan seorang diri khusus untuk menghadiri acara purnawiyata dan wisuda anak perempuan satu-satunya. Sorak penonton ramai memenuhi gedung Anthena, mereka memberikan tepuk tangan yang meriah ketika nama Sinar Mentari disebut sebagai juara 1 peraih Ujian Nasional Tingkat Kabupaten Indragiri Hilir. Ia berhasil membawa nama baik sekolah dengan pencapaian prestasinya. Kepala Madrasah memberikan hadiah berupa uang pendidikan gratis selama 4 tahun untuk kuliah di salah satu kampus negeri di Pulau Jawa. Madrasah memfasilitasi sebagai bentuk apresiasi terhadap Sinar yang sudah banyak mengharumkan nama madrasah. Haru bercampur bahagia perasaan hatinya saat itu, ia peluk erat tubuh ibunya.

"Buk.. Aku akan melanjutkan pendidikan ke Jawa. Aku janji akan mewujudkan cita-cita almarhum ayah dan ibu." Ucapnya penuh semangat.

Tak terasa air mata menetes di pipi Buk Darmi, anak perempuan semata wayangnya kini sudah menjadi seorang gadis yang sebentar lagi akan meninggalkannya sementara waktu untuk melanjutkan pendidikan di Pulau Jawa. Ia sangat bersyukur sekali dengan adanya hadiah dari kepala madrasah untuk anaknya. Pertanyaan-pertanyaan yang selalu melintasi pikirannya menjelang tidur malam terkait kelanjutan biaya pendidikan anaknya terjawab sudah. Ia sangat bersyukur, akhirnya doa-doa yang dipanjatkan seusai sholat dan di sepertiga malam diijabah sama Allah. Allah Maha Kaya, Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Allah adalah Maha dari segala Maha. Buk Darmi memeluk erat tubuh putrinya.

Sinar Mentari, begitulah namanya. Membawa sinar pengharapan bagi keluarganya. Kini, ia akan menjadi seorang mahasiswi. Satu-satunya siswi di madrasahnya yang mempunyai kesempatan bisa kuliah gratis di salah satu kampus negeri Pulau Jawa. Universitas Pendidikan Indonesia, tempat dimana ia menuntut ilmu untuk 4 tahun ke depan. Ia mengambil jurusan Pendidikan Sosiologi, berharap seusai lulus nanti dapat kembali ke daerahnya untuk mengabdikan ilmunya kepada masyarakat. Sejak duduk di kelas X, ia menyukai pelajaran Sosiologi atau hal-hal yang berkaitan dengan masyarakat. Beberapa kali pernah menjuarai Olimpiade Sosiologi tingkat Nasional, menjadikan ia semakin mantap untuk memilih jurusan Pendidikan Sosiologi di perguruan tinggi.

            Biar bagaimanapun kondisinya, pendidikan anak menjadi suatu hal yang diprioritaskan. Pendidikan itu sepanjang hayat, sejak kita berada dalam kandungan sampai kita di liang lahat. Kondisi keluarga yang tidak utuh dan minimnya ekonomi tidak menyurutkan langkah kita tuk terus memberikan pendidikan terbaik kepada anak-anak. Teruslah berusaha, ikhtiar semampunya dan berdoa minta kepada Allah yang Maha Rahman dan Rahim. 

Di era modern seperti sekarang, pendidikan tidak memandang jenis kelamin. Laki-laki atau perempuan mempunyai kesempatan yang sama untuk menempuh pendidikan hingga jenjang perguruan tinggi, sebisa mngkin setinggi-tingginya. Perempuan-perempuan bisa memberikan kontribusinya dalam perubahan sosial dengan bekal pendidikan. Semakin banyak kita mendidik perempuan, maka semakin banyak pula kita mendidik calon generasi mendatang. Teruslah bersinar bak mentari yang memberikan manfaat ke semua orang, ke masyarakat dan lingkungan sekitar. Begitulah pesan ibunda yang tertulis pada selembar surat, terbaca disaat Sinar sedang duduk menikmati perjalanan dengan pesawat yang melesat menembus awan.

Penulis : Afriska Kusnia


Cerita Pendek ini telah diterbitkan dalam Buku Antologi berjudul "Mengapa Perempuan Harus Berpendidikan?" dalam rangka peringatan 2 tahun berdirinya komunitas @rumahmasyarakat.id oleh penerbit Ruang Karya, 2022.

Rabu, 08 Juni 2022

SINAR MENTARI#1

 Sebuah Cerita Pendek

Karya : Afriska Kusnia

            Suara kokok ayam terdengar nyaring pagi itu, asap mengepul keluar dari dapur berdinding bambu. Matahari masih enggan menunjukkan sinarnya, dedaunan bergerak lembut seirama dengan hembus angin yang membawanya. Penduduk bumi memulai aktivitas paginya, menyiapkan makanan untuk sarapan, menyetrika baju seragam, menyapu lantai rumah dan halaman, bergegas pergi ke pasar, serta masih ada yang nyaman tiduran dengan selimut melingkari badan.

         Udara pagi itu cukup dingin, beberapa perempuan berjalan kaki memakai pakaian tebal untuk melindungi badan agar tidak kedinginan. Berjalan dengan langkah cepat menuju pasar tradisional dekat balai desa. Seorang lelaki bernama Pak Anton sedang menjajakan berbagai buah-buahan, ada pisang yang baru saja dipotong dari pohonnya, buah semangka berwarna merah merona terbelah menjadi dua, buah salak yang tertumpuk rapi di sebelah kanan timbangan, dan buah-buah lainnya berbaris rapi diatas meja beralas kain putih. Beberapa perempuan berjalan mendekati penjual sayuran, ada yang berjalan menuju penjual ikan, mencoba untuk menengok penjual buah-buahan, lainnya sedang sibuk melakukan tawar-menawar untuk mencapai kesepakatan harga pasar.

           Matahari telah menunjukkan sinarnya meski masih malu-malu, kondisi pasar tradisional semakin ramai. Banyak para pengepul menurunkan barang dagangannya ke para penjual, suara riuh pembeli semakin rumit untuk didengarkan satu persatu. Lelaki penjual buah-buahan itu rupanya masih sibuk dengan para pembelinya dari tadi pagi hingga sekarang menjelang siang. Dari kejauhan terlihat sedang menghitung berapa keuntungan yang ia dapatkan hari ini, menghitung jumlah uang yang ada di tangan dan kantong wadah uang untuk dicocokkan perhitungannya di mesin kalkulator yang sudah mulai usang.

"Alhamdulillah. Hari ini lumayan laris daganganku" katanya sembari meneguk segelas air putih.

Belum juga habis setengah air dalam gelas itu, datang seorang perempuan dengan berpakaian rapi dan stylist menanyakan berapa harga pisang yang tersandar di dekat kaki meja.

"Berapa harga pisang ini, Pak?" Tanya perempuan itu sambil menunjuk ke arah pisang tersandar didekat meja.

"45 ribu, Bu. Tinggal 1 aja, biasanya saya jual 50 ribu." Sahut Pak Anton.

"Wah, nggak bisa kurang nih, Pak? Kurangin dikit lah, pisang ini mau saya pakai untuk acara selamatan almarhumah ibu saya", tutur perempuan itu.

           Mendengar kalimat almarhumah ibu membuat hati lelaki penjual buah itu trenyuh, mengingatkan kembali kepada ibunya yang satu bulan lalu meninggal. Usianya memang sudah cukup tua, namun rupanya lelaki penjual buah itu belum siap kehilangan sosok ibu. Sudah beberapa minggu tidak nampak batang hidungnya di pasar itu, para teman penjual pasar menanyakan dimana keberadaannya, ternyata ia sedang berduka dan masih berkabung selama 3 minggu lebih. Lelaki berperangai lembut penjual buah itu sangat menyayangi ibunya, bagaimana tidak ia hanya memiliki seorang ibu. Sejak usia 8 bulan, ia sudah menjadi anak yatim. Ayahnya meninggal karena sakit jantung yang dideritanya. Itupun ia tahu hanya sebatas cerita dari ibu, saudara dan tetangga yang dekat dengan rumahnya.

"Jadi gimana, Pak? Boleh kurang nggak ini? 40rb saja ya?" Sahut pembeli perempuan menyadarkan lamunannya.

"Oh, ya. Boleh bu. Silahkan ambil saja, tidak usah bayar. Ibu saya juga barusan meninggal satu bulan lalu. Saya turut berduka cita ya." Tuturnya iba.

"Loh ini beneran, Pak? Saya jadi nggak enak", jawab perempuan itu sembari tetap menyodorkan selembaran uang lima puluh ribu ke arah lelaki penjual buah.

"Tidak, Mbak. Saya ikhlas, sudah ambil saja. Hari ini dagangan saya lumayan laris, padahal ini hari pertama setelah saya hampir satu bulan berduka atas meninggalnya ibu saya." Tuturnya sembari membungkus pisang dengan kresek merah besar dan menyerahkan ke perempuan itu.

***

            Hari ini cuaca sedikit mendung, diiringi gerak angin menyambar pelan pepohonan randu dan jati yang tertanam berjajar di kanan kiri rumah mungil berpetak berukuran 6x6 meter. Sepasang suami istri yang baru menikah satu tahun yang lalu sedang berbincang asyik di ruang tamu, menikmati santapan makan pagi dengan sepotong ubi rebus dan air putih yang tertuang di dua cangkir berbahan aluminum.

"Bulan ini jadwalnya lahiran insyaAllah, Mas. Semoga lancar ya prosesnya. Adik takut dan khawatir." Ucap perempuan manis bermata sayu kepada suaminya.

Aamiin, Dik. Semoga lancar ya. Kita doa sama-sama. " jawab laki-laki berkumis tipis tersebut sembari mengusap lembut kepala istrinya.

Nampak mesra dan bahagia keluarga kecil pasangan muda tersebut, suaminya bekerja sebagai seorang kuli bangunan lepas ikut dengan salah satu kontraktor yang sedesa dengannya. Jika sedang tidak ada pekerjaan di bangunan, ia biasa pergi ke pasar untuk berdagang buah membantu usaha ibunya.

Ia dibesarkan oleh ibu seorang diri sejak dilahirkan ke dunia berusia 8 bulan. Ibunya tinggal berbeda rumah dengannya, namun masih satu wilayah desa. Istrinya membantu bekerja dengan menjahit baju di rumah. Bekerja sebagai kuli bangunan lepas tidak bisa dijagakan untuk cukup memenuhi kebutuhan setiap hari, sistem pekerjaan borongan ini memakan waktu 3-4 bulan dan gaji diberikan setelah proyek selesai. Selain sebagai kuli bangunan, ia menyambung hidup dengan memelihara kambing dan sapi, ketika pulang dari proyek lanjut langsung mencari rumput di ladang belakang rumahnya.

Kurang dari satu bulan, hari yang ditakutkan oleh istrinya tiba. Hari ini seorang bayi mungil perempuan telah dilahirkan ke dunia dengan kondisi sehat wal afiat. Suara tangis bayi menggelar ke seluruh ruangan tersebut, Anton sebagai laki-laki telah resmi menjadi seorang ayah. Ia mengumandangkan adzan bayi mungil itu di telinga sebelah kanan, sedang iqomah di telinga sebelah kiri. Bayi perempuan itu diberi nama Sinar Mentari. Lahir tepat di satu tahun usia pernikahan ayah ibunya. Sinar Mentari, berharap ia kelak menjadi seorang anak yang bisa memberikan perubahan bak sinar mentari di kehidupan orangtuanya.

Suara tangisan bayi di kala haus minta minum air susu serta kondisi kurang nyaman karena popoknya basah menambah suasana rumah semakin ramai. Kini sang istri tidak lagi menjahit di rumah, lebih banyak untuk merawat putri kecilnya. Tak jarang setiap malam diatas pukul 10.00 bayi perempuan itu selalu menangis, membangunkan kedua orngtua yang beranjak untuk istirahat seusai melakukan aktivitas seharian. Menangis dan terus menangis. Tangisan bayi perempuan itu selalu terdengar di telinga tetangga samping rumahnya.

"Oek.. Oek.. Oek.." Begitu keras bayi itu menangis.

"Tidur ya, Nak. Ini minum susunya. Cup, cup, cup." Ucap Anton pelan sembari mengelus lembut dahi putri kesayangannya.

Bersambung.....

Nantikan di part ke#2 yaa, stay tune!

Senin, 27 Desember 2021

KEMBALI PULANG#2

 (sebelumnya disarankan untuk membaca episode 1 dahulu ya...)

Lembaran kertas dan amplop cokelat itu sengaja ia sebar di beberapa perusahaan luar kota, di Surabaya, Yogyakarta, Jakarta, Malang, Bandung hingga wilayah pulau Sumatera. Ia tidak begitu tertarik dengan dunia pendidikan meskipun bergelar S. Pd dan M. Pd. Ia menginginkan bekerja di perusahaan saja, gelar pendidikannya tak lain hanya untuk menuruti kemauan orangtuanya. Sebulan, dua bulan hingga enam bulan lamanya hanya menjadi pengangguran di rumah. Surat lamaran yang beberapa bulan lalu dikirimkan tak berbuah hasil seperti yang diharapkan, sebagian membalas dengan ucapan terima kasih karena sudah berpartisipasi dalam open recruitmen kerja, sebagian lainnya mengundang untuk melakukan wawancara, namun rezeki belum berpihak padanya.

Pagi itu ia duduk merenung di kursi teras depan sambil memainkan telepon genggam. Memikirkan ulang mengenai nasihat bapaknya enam bulan lalu ketika ia baru saja pulang dari perantauan. Mengapa ia tidak segera mendapatkan pekerjaan? Mengapa ia hingga detik ini masih juga jadi pengangguran? Apakah ini semua terjadi karena ia tidak patuh dengan arahan orangtuanya?

Tiba tiba suara dering dari telepon genggam menghentikan lamunannya, ada pesan masuk dari nomor tidak dikenal berisi panggilan wawancara di lembaga pendidikan yang terletak tak jauh dari rumahnya. Ia sengaja mengirimkan lamaran ke sekolah atas perintah dari bapaknya. Tanpa pikir panjang, bergegaslah ia lari menuju kamar untuk berdandan dan menyiapkan berkas yang harus dibawa saat wawancara. Dua puluh menit bergerak, sampailah ia di lembaga pendidikan tersebut. Ada 10 orang yang sedang antri menunggu giliran dipanggil untuk masuk ke dalam ruangan wawancara termasuk dirinya. Wawancara berjalan lancar hari itu, ia kembali pulang ke rumah untuk menunggu pengumuman hari besoknya.

Sore itu giliran Pak Darso yang duduk di teras depan sambil menikmati sepiring pisang goreng hangat.

"Nak.. Coba kemari sebentar, ada yang ingin bapak bicarakan padamu", ucap Pak Darso ke arah ruang tamu.

"Iya Pak" ucapnya sembari berjalan menuju teras depan.

"Bagaimana hasil dari surat lamaran yang sudah dikirimkan kemarin?," tanya Pak Darso.

"Alhamdulillah, kemarin baru wawancara lagi di sekolah. Tinggal nunggu pengumuman keluar besok. Doakan ya, Pak" ucapnya.

"Selalu bapak doakan. Semoga anak bapak diterima dan bisa berkarier di lembaga pendidikan. Bapak ingin sekali anak perempuan bapak satu-satunya ini menjadi seorang guru, sama dengan almarhumah ibumu dulu." Tutur Pak Darso dengan lembut.

"Kring... Kring... Kring," suara telepon berdering di dalam kamar.

"Ada suara telepon, Nak. Coba diangkat dulu" ucap Pak Darso ke anaknya.

"Iya, Pak" jawabnya sembari berlari menuju kamar.

Ternyata dering telepon dari nomor yang tidak dikenal, ada rasa ragu dan takut untuk mengangkatnya, namun mencoba untuk memberanikan diri.

"Assalamualaikum. Apa benar ini dengan Mbak Ananda Ningrum?", tanya orang di seberang sana.

"Iya benar dengan saya sendiri", jawabnya.

"Selamat ya Mbak. Berdasarkan hasil keputusan Kepala Sekolah, Mbak Nanda diterima untuk bergabung di lembaga pendidikan kami. Besok pukul 08.00 diharapkan datang ke kantor terkait koordinasi jadwal" jelas seseorang dalam telepon tersebut.

"Alhamdulillah. Terima kasih untuk informasinya" balas ia singkat.

Setelah telepon dimatikan, ia berjalan menuju teras depan menemui Pak Darso untuk memberi kabar terkait diterimanya ia di sekolah rekomendasi bapaknya. Hidangan pisang goreng di atas piring hanya tinggal sepotong, sengaja disisakan untuk dimakan oleh putrinya. Pak Darso sedang menikmati suasana jalanan yang cukup lenggang.

"Pak.. Aku ketrima di sekolahan itu. Barusan ditelepon sama pihak Tata Usaha, besok pukul 08.00 pembagian jadwal," ucapnya pelan.

"Lho.. Alhamdulillah, kamu ketrima Nak. Bapak ikut seneng dengernya. Semoga berkah dan lancar proses ke depannya. Akhirnya, Ya Allah... Anak perempuanku menjadi guru melanjutkan pengabdian ibunya" ucap Pak Darso bahagia sambil memeluk tubuh anak perempuannya.

***

Tak terasa dua tahun sudah ia mengabdikan ilmunya di lembaga pendidikan ini, hari-hari dilewati dengan senang hati, lambat laun mulai menemukan rasa nyaman atas apa yang dilakukan. Ternyata begitu antusias mengajarkan ilmu kepada siswa-siswinya, tak hanya mengajar di dalam kelas, namun juga belajar di luar kelas dengan tambahan game-game edukatif yang menyenangkan. Baginya belajar bisa dimanapun, tidak harus di kelas, di bawah pohon, di lapangan, di taman, hingga di perpustakaan. Baginya belajar bisa kapanpun, ia memfasilitasi siswa-siswinya untuk bertanya ataupun berdiskusi kapan saja, tidak harus di lingkungan sekolah. Siswa-siswi diberikan kesempatan untuk datang ke rumah apabila ingin berdiskusi, bila tidak memungkinkan bisa melalui telepon. Tindakan, perilaku, aktivitas dan kebiasannya menjadikan ia seorang guru yang disenangi oleh siswa-siswinya. Guru Millenial, adalah sebutannya di sekolah. Tidak hanya menjadi guru yang disenangi oleh siswa-siswinya, beberapa kali ia mewakili sekolah sebagai delegasi guru inspiratif di tingkat Provinsi. Kini ia menemukan apa yang selama ini dicarinya. Ya, pendidik atau guru adalah passion yang tepat untuknya.

Angin pagi itu berhembus kencang menerpa daun-daun hingga jatuh berguguran, tertuju pandangannya pada sebuah benda berbentuk persegi panjang di atas meja. Ia pandangi seseorang dalam frame foto itu, waktu berjalan begitu cepat, ternyata sudah 7 tahun yang lalu ibunya meninggal. Seragam batik di dalam foto merupakan seragam yang biasa dikenakan ibunya pergi ke sekolah untuk mengajar. Ibunya sosok perempuan dan pengajar yang terkenal ramah dan sabar, dulu siswa-siswinya sering silaturrahmi ke rumah saat ia masih duduk di bangku Sekolah Dasar. Memori dalam pikirannya mengingatkan kembali mengenai perkataan bapaknya terkait keinginan untuk anak perempuannya melanjutkan pengabdian ibu sebagai seorang guru.

Kini ia sadar, bahwa kedamaian yang selama ini ia cari ada dalam nasihat-nasihat orangtuanya. Gelar pendidikan yang telah ditempuhnya ternyata membawa manfaat, tidak hanya untuk dirinya tapi juga bagi masyarakat. Kini ia sadar, bahwa jati dirinya, passion dalam hidupnya dapat ia temukan ketika ia kembali pulang. Pulang dari perantauan, pulang menuju ke kampung halaman. Pulang untuk mengabdikan ilmunya di kota tempat kelahiran. Pulang menjadi bermanfaat untuk lingkungan sekitar, tempat dimana ia dibesarkan. Pulang untuk sebuah pengabdian. Pulang yang berujung kedamaian, tidak hanya dalam hati tapi juga merasuk dalam jiwanya. Ia tenang ketika kembali pulang, bekerja dengan riang, mengabdikan ilmu dengan senang, setiap harinya bisa selalu pulang serta merawat orangtua yang hanya tinggal seorang. Ia merasa nyaman dengan status dan perannya yang sekarang, pertanyaan tentang kekhawatiran akan jati dirinya telah menuai jawaban. 

Kembali pulang, ternyata itu hasil dari pencariannya selama ini.

Kembali pulang, ternyata itu yang berhasil membuat ia menemukan jati diri.

Kembali pulang, untuk menjadi pribadi yang lebih berarti.


-Selesai-


Penulis : AF

Cerita Pendek ini diterbitkan dalam sebuah buku antologi berjudul "Dialog Rasa" (Ruang Karya, 2021)

Kamis, 02 Desember 2021

KEMBALI PULANG #1

Suara bising kendaraan bermotor di tengah hiruk pikuk kota Malang senja itu menemani ia menghabiskan waktu. Langit sedang cantik-cantiknya, semburat merah jingga berpadu dengan warna putih biru membuat suasana semakin sendu. Beberapa pedagang makanan mulai menyiapkan lapak untuk berjualan. Ia berjalan seorang diri, menyusuri jalan setapak yang hampir setiap pagi dilalui. Pikirannya kacau, kondisinya sedang tidak baik-baik saja. Di usia yang sudah menginjak seperempat abad ini, ia belum juga menemukan siapa jati dirinya, akan dibawa kemana ijasah yang sudah diperoleh, sebenarnya apa yang ia mau, apa cita-citanya, apa keinginan yang harus dikejar dan serentetan pertanyaan kekhawatiran bergantian memenuhi pikirannya. Mungkin ini yang disebut Quarter Life Crisis.

Setiap hari menjalankan rutinitas sebagai seorang mahasiswa, bergulat dengan tugas dan karya ilmiah. Ia memilih untuk melanjutkan pendidikannya pada jenjang magister sebagai pelarian atas kenyataan hidup pasca lulus.

"Aku belum siap bekerja, ilmuku belum cukup. Aku harus kuliah lagi", katanya.

Kuliah lagi. Ya, kalimat itu yang menjadi jawaban atas dirinya. Entah untuk mendalami ilmu pendidikan dan menjalankan arahan dari orangtua atau hanya sekedar pelarian dari kenyataan yang sedang dihadapi. Selama menempuh pendidikan magisternya ia tidak hanya kuliah-pulang-kuliah-pulang atau kalau dalam istilah mahasiswa Kupu-Kupu, mencoba untuk aktif di organisasi kampus, berbaur dengan teman beda jurusan menjadi lahan praktikumnya untuk mencari teman hidup yang sefrekuensi dengannya.

Siang itu matahari sedang terik, daun-daun kering pohon mangga berjatuhan di tanah sepanjang jalan menuju ke perpustakaan. Dua orang perempuan berjalan bersampingan dengan gerak langkah yang tak seirama, tumpukan buku dan beberapa kertas catatan revisi ditangannya mengisyaratkan untuk segera dieksekusi.

"Bagaimana ada yang tertarik nggak kira-kira sama temen kampus?" Tanya seorang teman kepadanya.

"Tertarik? Belum ada." Jawabnya singkat, sembari meneruskan langkah menuju perpustakaan.

"Sebenarnya yang kau cari seperti apa?" Lanjut seorang teman, sembari mengikuti langkahnya.

"Entahlah, nanti juga datang sendiri. Sudahlah, bahas yang lain saja." Katanya dengan nada kesal.

Rupanya ia merasa terganggu dengan pertanyaan yang baru saja dilontarkan temannya, mengalihkan pembicaraan ke topik yang lain adalah caranya menghentikan pertanyaan-pertanyaan tentang masa depan yang datang dari seorang teman. Menurutnya, hal-hal seperti itu hanya membuang waktu saja. Lebih baik fokus dengan pencapaian, pendidikan misalnya. Ia merupakan seorang yang rajin dan cerdas, belum sampai 2 tahun pendidikan magisternya sudah tuntas.

Semarak kelulusan hari itu memenuhi gedung Graha Cakrawala, pakaian kebaya lengkap disertai toga dikenakan oleh perempuan manis dengan make-up tipis. Selembar kertas ijasah itu kembali ia dapatkan, mirip dengan peristiwa 20 bulan yang lalu ketika ia baru saja lulus sarjana. Pertanyaan-pertanyaan itu kembali datang merasuki pikirannya, yang mau tak mau harus dipecahkan bagaimana solusinya.

"Setelah ini aku harus kemana?"

"Bekerja? Dimana? Gajinya berapa? Atau menikah saja? Dengan siapa?”, katanya lirih ketika berdiri di depan cermin sembari membenarkan posisi jilbab yang dipakainya.

***

Rumah sederhana yang terletak di pinggiran kota itu tampak sepi, hanya ada satu orang penghuni lelaki paruh baya bernama Pak Darso. Di usia senjanya Pak Darso hidup sendiri, anak pertamanya tinggal bersama istri di Palembang, anak keduanya bekerja sebagai teknisi di Yogyakarta, dan anak terakhirnya baru saja pulang dari perantauan setelah tuntas menyelesaikan pendidikan magister.

"Tok.. Tok.. Tok.." Terdengar suara pintu diketuk olehnya.

"Assalamualaikum, Pak. Nanda pulang", teriaknya.

"Wa'alaikumsalam, Nak", jawab Pak Darso yang sedang berjalan ke arah pintu.

Anak dan bapak tersebut duduk di ruang tamu untuk saling melepas kerinduan. Pak Darso mendengar keluh kesah anak perempuannya terkait kehidupan pasca lulus, sementara ia sesekali meneguk segelas susu putih hangat ketika bercerita.

"Aku ini sudah lulus Pak. Gelarku sudah Magister. Kalau bekerja harusnya gajiku ya tinggi. Kalaupun harus menikah suamiku ya harus berpendidikan tinggi juga", ucapnya sambil melihat tajam mata Pak Darso.

"Sudah, kamu kerja di rumah saja. Ndak usah ke luar kota, ngajar di sini saja yang setiap hari bisa pulang ke rumah. Ndak papa to, gajinya nggak tinggi tapi inshaAllah berkah", tutur Pak Darso sembari membenarkan posisi duduknya.

(berlanjut di episode #2 ya...)

Penulis : AF

Senin, 29 November 2021

Pertanyaan #1


"Kenapa kamu tidak mencariku?", tanya seseorang di seberang sana.
Sebuah pesan masuk melalui telepon genggamku, pukul 02.25 dini hari.
Aku memang terbiasa terbangun di dini hari, entah apa yang membuatku terbangun, aku selalu menikmatinya.
Ku lihat pemberitahuan di telepon genggamku.
Jam segini? Mengirim pesan? Tumben?
Setelah hampir sewindu kita tak pernah bertemu, dan hampir tiga bulan komunikasi tak pernah berjalan lancar.

"Kenapa kamu tidak pernah mencariku lagi?" Tanyanya ia kembali.
Pesan darimu hanya sempat ku baca saja beberapa waktu.
Keningku mengerut, mencoba menerka nerka jawaban yang seharusnya.

...
Mencarimu?
Bukankah kau yang sengaja menghilang di tengah hiruk pikuk dilema kepastian?
Hanya sibuk atau benar-benar sibuk?
Sebagai pasangan atau hanya teman pelampiasan?
Tidak perlu hilang hanya untuk ingin dicari.
Tidak perlu berlari hanya untuk ingin dikejar.
Tidak perlu menghindar hanya untuk mengetahui apakah dia sabar.
Tidak perlu berpura-pura, jika sebenarnya kau benar-benar menginginkannya.
Perjuangkan apa yang sepatutnya diperjuangkan.
Beberapa pernyataan tidak hanya butuh pengungkapan, tapi juga pembuktian.

...
Kenapa kamu tidak mencariku lagi?
Kita tidak sedang saling mencari.
Lalu?
Pada saatnya nanti, kita saling menemukan.



Tulungagung, 29 Nopember 2021

Kamis, 04 November 2021

TANDA TANYA #3

Bagaimana tidur kalian malam ini?

Apakah nyenyak? Atau tiba-tiba terbangun sontak?
Alhamdulillah, tidurku nyenyak malam ini.
Namun, sayang tak membuat badan ini enak.
Beberapa malam lalu sebelum ia datang, tidurku sering terbangun dengan sontak?
Kenapa?
Apakah ada yang aneh dari dirinya?
Atau justru sebaliknya diriku?
Hahaha.
Aku memang aneh dari dulu.
Begitulah, kata teman-teman yang mengenalku.
Sering terbangun dalam sepi, hanya pikiran ramai memenuhi kepala ini.
Seringnya berbicara kepada diri sendiri, hingga terkadang lupa untuk sekedar mengistirahatkan diri.
Serentetan pertanyaan terkait masa depan, deadline tugas yang antre untuk diselesaikan, hingga kejelasan hubungan yang belum usai menemukan titik terang.
Menyebalkan memang, tapi anehnya diriku menikmatinya sebagai bentuk kenyamanan.
Kenyamanan?
Hahaha, bukankah selama ini kau sudah terbiasa sendiri? Menikmati hidupmu seorang diri? Berempati, berkolaborasi, berbagi? Apakah semua itu tidak menyadarkanmu?
Kau terbiasa pura-pura, bahkan hanya untuk sebuah tawa bisa tercipta.
Sesekali menangislah, luapkan emosi sedihmu.
Memeluk erat tubuh, meski pikiran kian riuh.
Seberapa besar ujian yang diberikan, tepuklah bahu untuk saling menguatkan.

Sudahlah, tak usah tersipu malu.
Aku disini, untukmu.
Berperan apapun itu.
Pendengar ceritamu, pelengkap kisahmu, teman dikala waktu kosongmu atau sekedar sebagai pelampiasan rasa sedih kecewamu.
Aku, disini untukmu.
Kita hadapi bersama.
Aku percaya, selalu ada jalan bagi mereka yang tekun berusaha.

Tulisanku terjeda, ketika adzan subuh mulai berkumandang dari mushola.
Pikiranku tersadar tiba-tiba, saat tak ku temukan suara seseorang di seberang sana.
Kamu lupa ya?
Bukankah ia sudah pamit untuk mempersiapkan ibadahnya?
Hahaha, begitulah aku.
Selain aneh, ternyata juga pelupa.


Tulungagung, 4 November 2021.
04.10 WIB




Kamis, 23 September 2021

TANDA TANYA #2

Sebuah cerita

Karya : A F K U



Beberapa hari ia terlihat murung, pikirannya sedang kacau. Banyak hal berkecamuk dalam otaknya, berbagai pertanyaan berderetan memenuhi volume kepala.

"Arghh..", ia mengerang memegang kepala dengan kedua tangannya.

Rasanya seperti sedang dihantam keras dengan benda yang berat. Terasa begitu menyayat hati dan perasaan, hingga enggan melakukan aktivitas harian terutama makan. Wajahnya pucat pasi, sejak pagi perutnya belum juga terisi. Ia menatap kosong ke arah luar jendela rumahnya. Berdiam diri dengan duduk di kursi kayu panjang yang mulai usang.

"Kapan semua ini berakhir ya Allah?" Katanya lirih.

Air mata menetes pelan di pipi. Tatapan kosong berusaha untuk memfokuskan objek yang ada didepannya. Seseorang telah berdiri didepan pintu rumahnya.
Kapan datangnya?
Seperti tidak ada suara kendaraan?

Ia kebingungan. Bola matanya bergerak dari kiri ke kanan secara bergantian. Pintu rumah dibukakan.

"Nih, cokelat buatmu. Di makan ya, sebagai pereda stress" Ucapnya sembari menyerahkan 3 bungkus cokelat.

"Lah, kok tau kalau aku stress?" Jawabku bingung.

"Coba lihat pesanku beberapa minggu lalu belum terbalas tuh." Jawabnya, lalu beranjak pergi.
Tanpa salam, tanpa pamitan. Tanpa penjelasan panjang, tiba-tiba datang, lalu pulang.

Padahal tidak ada satupun pesan yang belum ku balas darinya.
Apa maksudnya?
Pesan yang mana?
Aku masih berdiri termangu di depan pintu. Membisu. Berusaha menerka apa maksudmu.

"Pesan dari orangtuaku. Kapan jadi menantu ibuku?" Sebuah pesan masuk menyadarkan lamunanku.

Gubraaaak!!
Kau, memang selalu begitu.
Hahaha.




Selasa, 21 September 2021

TANDA TANYA

Sebuah pertanyaan yang belum penuh menuai jawabnya.

Oleh : A F K U 


Hari ini hujan tak turun lagi seperti kemarin. Hanya ada kilat petir menyala berulang kali yang membuat getir mayoritas penduduk bumi. Apakah ini pertanda akan ada bahaya? Atau semesta sedang mengisyaratkan kode yang sedang tidak baik baik saja?

Rasanya manusia terlalu rakus dengan semua keinginan yang menyebabkan keselamatan semesta kian hari tak terurus. Entah apa yang dikejarnya, pejabat pemerintah banyak terkena kasus korupsi. Apakah bekerja hanya untuk eksistensi diri dengan memamerkan segala pencapaian?
Apakah hidup hanya untuk saling mengunggulkan jabatan?
Atau hanya untuk mampir sebentar tanpa sebuah tujuan dan kepastian?
Atau..  Hanya untuk berkenalan, komitmen dan menghilang tanpa kabar?
Kau memang menyebalkan, beserta dengan perasaan-perasaan yang semakin membingungkan apa maknanya.
Biasanya aku menulis tentangmu ketika hujan, kau tau kenapa? Sebab ketika aku menulis tentangmu tak hanya suka tapi juga kadang duka, tak hanya senang tapi juga sedih. Kadang kerap kali aku meneteskan air mata ketika menuliskanmu.

Kenapa harus menetaskan air mata?
Jika kau saja tidak peduli dengan keberadaannya, apalagi perasaannya.
Entahlah, aku yang sudah gila dan mati rasa atau kau yang sebenarnya mengerti dan pura-pura tidak peka.
"Kau menyebalkan".


Selalu itu kalimat yang ku lontarkan ketika tanpa sengaja dengan seenaknya kau datang merasuki pikiran, dan enggan pergi hingga larut malam.
Sebenarnya kita ini apa? Kau bilang kita lebih dari teman. Kau bilang aku adalah teman spesial. Apakah aku salah jika mempertanyakan sebuah penjelasan dari kalimat yang pernah kau lontarkan?

Kilat petir yang menyambar angkasa kini sudah reda, tapi tidak dengan cerita kasih kita.
Hujan malam ini belum juga turun ke bumi, tapi doaku untukmu tak akan pernah usai.

Mas, doaku untukmu masih sama.
Dimanapun kau berada, semoga bahagia dan baik baik saja.


Tulungagung, 16 Juni 2021
20:06

Senin, 09 Agustus 2021

Kabar Pagi

Embun pagi terasa dingin merasuk hingga ke tulang-tulang, belum banyak aktivitas saat itu.

Beberapa perempuan membawa tas kantong di tangan kanan berjalan menuju pasar tradisional, memilah sayuran, menimang ikan mana yang akan dibawa pulang,  hingga bernegosiasi terkait kesepakatan harga pasar.

Hiruk pikuk kehidupan mulai tampak, asap kendaraan bermotor perlahan menembus kabut pagi itu.

Hari ini, ku dapati dua kabar duka datang dari kolega tempatku bekerja.

Keduanya sedang diuji untuk kehilangan seorang ibu. 

"Innalillahi", kataku.


Pikiranku memutar memori 3 tahun silam, saat sosok sebagai perantara aku lahir di dunia ini meninggalkanku.

Bukan lagi ditinggalkan untuk pergi ke pasar dan pulang membawa jajanan tradisional.

Bukan pula ditinggalkan ke kota untuk mengambil kain jahitan.

Saat itu, ibu benar-benar telah meninggal, meninggalkan dunia seisinya ini, meninggalkan aku dan keluarga.

Saat itu, aku masih menempuh pendidikan tingkat akhir untuk mendapatkan gelar sarjana.

"Belum juga aku wisuda Buk, tapi Engkau sudah pulang ke pangkuan-Nya", kataku lirih.


Ada sedikit rasa sesal atas apa yang pernah ku lakukan ketika ibu masih hidup, sering menunda pekerjaan rumah ketika dimintai tolong olehnya, sering lupa tidak memberi kabar ketika sudah sampai tempat tujuan.

Kau telah melahirkanku, membesarkanku, mendidikku, menyayangiku dan berbagai kata kerja yang tak bisa ku sebutkan satu persatu untukmu.

Teriring doa dariku anak perempuanmu, semoga tenang di sisi-Nya dan surga menjadi tempat peristirahatan bagimu.

"Terimakasih, Buk", kataku lirih sambil meneteskan air mata.


Untuk yang masih punya orangtua, dijaga dan dirawat ya.. 

Apabila sedang jauh, pulanglah temui ia peluklah, basuh kedua telapak kakinya.

Apabila tak memungkinkan pulang, ambil teleponmu sempatkan bicara sebentar meski hanya dari kejauhan.

Sayangilah orangtua selagi masih ada di dunia.

Jika sudah tidak ada, kita hanya punya doa untuk mereka.

Al-Fatihah untuk orangtua kita, baik yang masih hidup maupun sudah meninggal.

Semoga kebaikan dan kedamaian selalu menyertai kita semua.

Aamiin



Afku - 8/8/21

SURYA MALAM HARI #2

  Diharapkan untuk membaca part 1 terlebih dahulu, ya. . . . Tepat ketika Dea berangkat pulang dari Stasiun Bandung pukul 15.45 WIB kemarin,...